Minggu, 18 November 2012

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004


 
 
Menimbang      :
a.     bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan perlu diwujudkan secara optimal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; 
b.    bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah;                
c.     bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat;        
d.    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, dan c perlu ditetapkan undang-undang yang mengatur tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
                         
Mengingat        :
1.       Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
2.       Undang-undang Nomor 14  Tahun 1970 tentang Ketentuan–ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879);
3.       Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316);     
4.       Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327);
5.       Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989);                    
6.       Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK  INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN  :
Menetapkan               :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN  HUBUNGAN  INDUSTRIAL.
BAB  I
KETENTUAN UMUM  
Pasal  1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :       
             
1.     Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.      
2.     Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
3.     Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.                       
4.     Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.                        
5.     Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan. 
7.       Pengusaha adalah:                   
                         
a.     orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;           
b.    orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;                   
c.     orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.   
8.       Perusahaan adalah:
a.     setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b.    usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
9.       Serikat pekerja/serikat buruh  adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan  keluarganya.                                            
10.    Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah  atau imbalan dalam bentuk lain.                                                                    
11.    Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.      
12.    Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah  penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah  yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.               
13.    Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.     
14.    Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan  pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh  hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.                     
15.    Konsiliator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.    
16.    Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
17.    Arbiter Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
18.    Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.  
19.    Hakim adalah Hakim Karier Pengadilan Negeri yang ditugasi pada Pengadilan Hubungan Industrial.              
20.    Hakim Ad-Hoc adalah Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang pengangkatannya atas usul serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha.                                                                                                             
21.    Hakim Kasasi adalah Hakim Agung dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.        
22.    Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.                                                             
Pasal 2
Jenis Perselisihan Hubungan Industrial  meliputi:
a.     perselisihan hak;
b.    perselisihan kepentingan;
c.     perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
d.    perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

BAB  II
TATA  CARA
PENYELESAIAN  PERSELISIHAN HUBUNGAN  INDUSTRIAL
 Bagian  Kesatu
Penyelesaian Melalui Bipartit

Pasal 3
(1)   Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2)   Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.
(3)   Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.        

Pasal 4
(1)   Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
(2)   Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas.
(3)   Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase.
(4)   Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.   
(5)   Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.                
(6)   Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.                     

Pasal  5
Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.

Pasal  6
(1)   Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak. 
(2)   Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a.     nama lengkap dan alamat para pihak;
b.    tanggal dan tempat perundingan;
c.     pokok masalah atau alasan perselisihan;
d.    pendapat para pihak;
e.     kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f.     tanggal serta tandatangan para pihak yang melakukan perundingan.

Pasal  7
(1)   Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak.                                                       
(2)   Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.      
(3)   Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama. 
(4)   Perjanjian Bersama yang telah didaftar sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.  
(5)   Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.         
(6)   Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.                  
Bagian Kedua
Penyelesaian Melalui Mediasi
                                                                         
Pasal  8
Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.                                 
Pasal  9  
Mediator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.     beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.    warga negara Indonesia;
c.     berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
d.    menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;
e.     berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f.     berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan
g.    syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal  10

Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.

Tidak ada komentar: