Menimbang :
a.
bahwa hubungan industrial yang harmonis,
dinamis, dan berkeadilan perlu diwujudkan secara optimal sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila;
b.
bahwa dalam era industrialisasi, masalah
perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks,
sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah;
c.
bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun
1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai dengan
kebutuhan masyarakat;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
tersebut pada huruf a, b, dan c perlu ditetapkan undang-undang yang mengatur
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
Mengingat :
1. Pasal 5
ayat (1), Pasal 20, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), dan
Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan–ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3879);
3. Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316);
4. Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327);
5. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3989);
6. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1.
Perselisihan Hubungan Industrial adalah
perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau
gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan.
2.
Perselisihan hak adalah perselisihan
yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan
atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
3.
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan
yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan
dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama.
4.
Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah
perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
5.
Perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat
pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya
persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban
keserikatpekerjaan.
7. Pengusaha
adalah:
a.
orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b.
orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c.
orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan
di luar wilayah Indonesia .
8. Perusahaan
adalah:
a.
setiap bentuk usaha
yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan,
atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain;
b.
usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang
mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
9. Serikat
pekerja/serikat buruh adalah organisasi
yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di
luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh
dan keluarganya.
10. Pekerja/buruh
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
11. Perundingan
bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat
buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
12. Mediasi
Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang
atau lebih mediator yang netral.
13. Mediator
Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi
syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas
melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada
para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
14. Konsiliasi
Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian
perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan
melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang
netral.
15. Konsiliator
Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau
lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri,
yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada
para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
16. Arbitrase
Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian
suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial
melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan
penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para
pihak dan bersifat final.
17. Arbiter
Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih
yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang
ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan
kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam
satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang
putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
18. Pengadilan
Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan
pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan
terhadap perselisihan hubungan industrial.
19. Hakim
adalah Hakim Karier Pengadilan Negeri yang ditugasi pada Pengadilan Hubungan
Industrial.
20. Hakim
Ad-Hoc adalah Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc
pada Mahkamah Agung yang pengangkatannya atas usul serikat pekerja/serikat
buruh dan organisasi pengusaha.
21. Hakim
Kasasi adalah Hakim Agung dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang berwenang
memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan
industrial.
22. Menteri
adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Jenis
Perselisihan Hubungan Industrial
meliputi:
a.
perselisihan hak;
b.
perselisihan kepentingan;
c.
perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
d.
perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan.
BAB II
TATA CARA
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian
Kesatu
Penyelesaian
Melalui Bipartit
Pasal 3
(1)
Perselisihan hubungan industrial wajib
diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara
musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2)
Penyelesaian perselisihan melalui bipartit
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.
(3)
Apabila dalam jangka waktu
30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) salah satu pihak
menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai
kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Pasal 4
(1)
Dalam hal perundingan bipartit gagal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah
pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya
penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
(2)
Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat
dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
pengembalian berkas.
(3)
Setelah menerima pencatatan dari salah satu
atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih
penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase.
(4)
Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan
penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari
kerja, maka instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan
melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.
(5)
Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan
untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
(6)
Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan
untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh.
Pasal 5
Dalam
hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan,
maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan
Industrial.
Pasal 6
(1)
Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak.
(2)
Risalah perundingan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a.
nama lengkap dan alamat para pihak;
b.
tanggal dan tempat perundingan;
c.
pokok masalah atau alasan perselisihan;
d.
pendapat para pihak;
e.
kesimpulan atau hasil perundingan; dan
f.
tanggal serta tandatangan para pihak yang
melakukan perundingan.
Pasal 7
(1)
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dapat mencapai kesepakatan
penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para
pihak.
(2)
Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para
pihak.
(3)
Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak
mengadakan Perjanjian Bersama.
(4)
Perjanjian Bersama yang telah didaftar
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian
Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian
Bersama.
(5)
Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak,
maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian
Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi.
(6)
Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di
luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran Perjanjian Bersama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3), maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan
eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Bagian
Kedua
Penyelesaian Melalui Mediasi
Pasal
8
Penyelesaian
perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap
kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota.
Pasal
9
Mediator sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa;
b.
warga negara Indonesia ;
c.
berbadan sehat menurut surat keterangan dokter;
d.
menguasai peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan;
e.
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak
tercela;
f.
berpendidikan sekurang-kurangnya Strata Satu
(S1); dan
g.
syarat lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 10
Dalam waktu
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima pelimpahan
penyelesaian perselisihan mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang
duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar