Mengapa kamu menulis? “Karena kebelet!”, kata Putu Wijaya. Mengapa memilih menulis feature? “Karena kebelet, asyik dan fun!”, kata saya sendiri. Bagaimana tidak kebelet menulis kalau kita banyak membaca. Ya! Bagaikan sampah di Leuwigajah di mana kandungan kimianya kemudian meledak. Demikian pula kalau kita banyak membaca buku, majalah, Koran, dan internet pasti ingin meledak. Ledakan itu bisa berupa ngomong, tapi biasanya orang lain nggak mau meluangkan waktu untuk ngedengerin omongan kita.
Kalau
menulis kita tingal menulis. Kalau tidak dimuat di media massa ya minimal
menulis catatan harian. Siapa yang nyangka catatan harian Soe Hok Gie
kemudian dibukukan setelah menjadi best seller bertahun-tahunpun kemudian
difilmkan. Juga catatan harian Anne Frank, seorang anak biasa berumur 6 tahun
pun kemudian dibukukan dan difilmkan karena menceritakan kekejaman Perang Dunia
II.
Atau
tulis saja surat atau e-mail. Surat-surat Kartini ternyata dibukukan,
surat-menyurat Moh. Roem dan Cak Nur juga dibukukan, surat menyurat Maududi
dengan Maryam Jamilah juga dibukukan. Dalam buku Chicken Soup for The
Surviving Soul diceritakan ada seorang yang terkena kanker kemudian kakinya
harus diamputasi dan dia sering menulis surat kepada teman-temannya dan kepada
para ahli kedokteran ternyata kemudian surat-surat itu dibukukan dan menjadi
best seller di Amerika Serikat, dan dia menjadi kaya raya.
Apalagi
sekarang ada internet, maka makin gampang aja kita untuk menulis. Nulis aja di
milis atau nulis di blogspot individual journal. Persoalannya kemudian adalah
bermanfaat atau tidak. Kata Nabi Muhammad khan “Berkata-katalah yang baik atau
diam”. Begitu pula menulis kalau kita menulis yang baik dan bermanfaat khan
bagus, bukannya menulis untuk berghibah alias menceritakan aib orang lain salah
sedikit bisa jatuh ke fitnah.
Memangnya
menulis feature itu asyik dan fun? Iya! Sebelum menulis feature itu khan kita
harus mengumpulkan data dulu sebanyak-banyaknya baik melalui membaca,
mewawancarai si pelaku ataupun mewawancarai pakar. Ibaratnya menulis straight
news itu adalah musik klasik sebagai dasar bermusik (musik baku) dan menulis
feature adalah musik jazz yang penuh dengan improvisasi. Kalau dalam sepak bola
menulis straight news adalah sepak bola Inggris yang to the point, kalau
menulis feature itu adalah permainan Brasil yang penuh improvisasi dan jogo
bonito (sepak bola indah) yang penuh gocekan dan tendangan-tendangan
ajaib. Sebelum kita berimprovisasi tentu saja kita harus menguasai yang baku
terlebih dahulu. Untuk menulis feature, sebelumnya kita harus mengumpulkan data
dan fakta sebanyak mungkin tentang yang akan kita tulis. Pengalaman saya dalam
menulis feature kalau kita menguasai yang bakunya yaitu fakta
sebanyak-banyaknya maka kita bebas memilih-milih dan memilah-milah fakta mana
yang akan kita ambil untuk feature yaitu terutama yang unik dan mengandung
human interest. Ketika saya saya akan menulis di Hidayatullah tentang K.H.
Abdullah Syafi’I, saya menulis dalam waktu hanya setengah jam. Karena riset di
lapangan sudah saya lakukan selama 3 hari dan fakta di kepala saya sudah banyak
karena ketika kelas 2 SMP saya rajin mendengarkan radio Asy Syafi’iyah terutama
ceramah Allah Yarham K.H. Abdullah Syafi’I sehingga data-data tentang human
interestpun sudah bertumpuk di otak saya. Dan tulisan ini dibilang bagus oleh
awak redaksi Hidayatullah. Ketika saya hendak menulis tentang Ki Hajar
Dewantara saya cukup mudah juga karena saya mempunyai banyak buku tentangnya
dan langsung saya pilih Kesulitan timbul ketika tokohnya memang tidak
menarik. Misalnya pengalaman saya ketika hendak menulis 3 tulisan tentang: 1.
Ki Hajar Dewantara, 2. Cipto Mangunkusumo, 3. Dr. Soetomo. Sayapun membaca
biografi mereka. Untuk Ki Hajar banyak kisah menarik misalnya ketika dia di
Belanda dia sering masak jeroan kambing dan tetelan dan orang Belanda merasa
kasihan karena di sana makanan seperti itu adalah makanan anjing. Untuk Cipto
juga banyak kisah menarik misalnya ketika ia menaruh bintang penghargaan dari
Ratu Belanda di bokongnya sebagai protes. Tapi Saya sudah mebolak-balik
biografi tentang dr. Soetomo saya tetap kesulitan karena tidak ada yang menarik
karena ia adalah orang yang ikut arus. Ketika semua orang non kooperasi dia
ikutan. Ketika trend nya adalah kooperasi dia ikut-ikutan kooperasi. Sayapun
tidak berhasil menulis feature tentang dr. Soetomo.
Sebenarnya apa sich feature itu?
Feature adalah sebuah tulisan tentang fakta yang cara memberitakan faktanya
dengan gaya sastra baik itu gaya cerpen, roman, novel, puisi, atau prosa liris.
Di feature ini harus ada unsur yang unik, kemudian juga ada human interest-nya.
Misalnya berita tentang tokoh baik yang sudah meninggal atau masih hidup atau
peristiwa misalnya berita tentang demam Piala Dunia di Jerusalem ternyata
membuat orang Arab dan Israel berdamai dan sama-sama menonton bola.
Sebenarnya
kalau Babad Tanah Jawi itu adalah fakta ttg sejarah Jawa, maka dia adalah
feature, ternyata Babad itu bercampur antara fakta dengan mitos. Kita sebagai
muslim yakin bahwa Al Quran adalah fakta dan gaya bahasanya sastra melebihi
sastra lainnya di seluruh dunia maka Al Qur-an itu bisa disebut Feature yang
sangat tinggi.
Sebenarnya tulisan feature di dunia
modern dimulai ketika ada gerakan post modernisme. Modernisme lebih sering
menceritakan narasi besar. Sejarahpun sejarah orang besar kata Thomas Carlyle.
Lalu gerakan post modernisme lahir dan mengkritik adanya centrum/ center/ pusat
yang disebut narasi besar. Lalu menurut post modernisme tidak ada narasi besar,
tidak ada centrum, semua sejajar. Michelle Foucault pun mulai menulis sejarah
orang gila dan sejarah sex terutama homosexual yang selama ini tidak dianggap
penting. Sejarawan lain mulai menulis sejarah petani, sejarah olah raga,
sejarah local, sejarah kota, sejarah desa, sejarah profesi, dan lain-lain. Di dunia jurnalisme lahir New Journalism yaitu
menulis berita dengan gaya sastra. Kemudian kalau wartawan menulis berita tidak
disebut menulis berita melainkan disebut menulis cerita. Cerita yang dipilihpun
bukan narasi besar melainkan narasi kecil, dipilih yang unik dan mengandung
human interest. Sebuah buku dari Anis Abiyoso dan Ahmadun Yosi Herfanda yaitu Teror
Subuh di Kanigoro pun termasuk New Journalism dan bentuk tulisannya adalah
feature.
Cara Menulis Feature
- Mencari dan menjaring ide.
- Feature Sejarah. Agar menjadi
aktual lihatlah kalender ada kelahiran atau kematian tokoh besar siapa
atau ada peringatan peristiwa apa dan siapa yang berperan. Lalu apa
relevansinya di masa sekarang. Ini penting untuk Koran atau majalah
terutama yang tidak ada rubrik khusus sejarahnya. Peristiwa sejarah
misalnya Hitler lalu dicari yang unik misalnya dari literatur ditemukan
ternyata masa kecilnya dia sering disiksa ayahnya, Stalin juga podo
wae. Atau yang mengusulkan membantai orang Yahudi di Perang Dunia II
ternyata Yahudi juga yaitu Jendral Heinrich dan salah satu kakek Hitler
juga ternyata Yahudi.
- Feature peristiwa masa
sekarang. Cari yang unik dan ada human interest dari peristiwa itu.
Misalnya Ujian Akhir Nasional ternyata banyak siswa yang melakukannya di
gang atau di tenda-tenda gara-gara sekolah bocor atau hancur. Atau berita
tentang Kutai yang Kabupaten terkaya di Indonesia ternyata banyak sekolah
yang hampir ambruk dan banyak guru yang mogok belajar karena gaji tidak
dibayar-bayar. Atau penyakit polio ternyata ada yang satu keluarga
terkena polio kecuali bapaknya ini adalah peristiwa yang bisa ditulis
menjadi feature dahsyat atau bahasa kasar dari para pemilik modal pers,
“menjual air mata”. Atau peristiwa kebakaran, kita gali sedalam-dalamnya
nanti kita bisa menemukan misalnya ternyata ada anak yang tidak jadi
ujian nasional karena semua seragam, uang, dan kartu identitas ujian
terbakar misalnya. Dari peristiwa Tsunami di Aceh juga banyak “tambang
emas” untuk penulisan feature. Atau tentang TKI misalnya bisa ditulis TKI
yang gagal total dan yang sukses. Atau tentang kiat sembuh mantan
pengguna narkoba.
- Mengumpulkan data dan fakta
sebanyak-banyaknya. Misalnya membaca buku biografi tokoh. Semakin banyak
kita membacanya semakin banyak kita bisa improvisasi dan menulis feature
yang bagus misalnya ketika saya menulis tentang K.H. Abdullah Syafi’I saya
menemukan fakta beliau pernah menegur PSSI dan pengelola gelora Senayan
karena memainkan sepak bola dari pukul 17.00-19.00 WIB sehingga menabrak
waktu Maghrib lalu pertandingan bola di Senayan berubah menjadi pukul
19.00-21.00 WIB. Atau wawancara orang-orang dan gali terus sampai ketemu
yang unik. Misalnya saya ketika menulis tentang sejarah Konferensi Asia
Afrika saya tidak menemukan yang unik akhirnya terus saya gali dan tidak
bosan-bosan, akhirnya saya menemukan bahwa gedung KAA ketika konferensi
itu bocor ketika hujan dan ada panitia dan delegasi yang melepas jasnya
untuk mengepel lantai yang basah.
- Mencari Lead yang baik (Judul
dan paragraph pertama). Cerita-cerita unik itu biasanya saya jadikan
paragraph pertama. Atau kita harus mencari Newspeg (Cantelan Berita)-nya
ini terutama untuk Koran misalnya Kompas. Teman saya Indra J. Piliang
misalnya pernah membuat tulisan dengan judul “Kursi RI untuk Apa Jendral?”
dan ini banyak dipuji oleh pakar komunikasi. Atau misalnya dalam proses
ketika saya menulis tentang satu tahun ulang tahun KAMMI, saya menulis
datar-datar saja. Lalu Pemred Aliansi, Wisnu Pramudya, mengubah paragraph
pertama menjadi “Ujung tombak gerakan reformasi yaitu KAMMI….” Lalu diubah
lagi dan inilah yang muncul di Tabloid Aliansi yaitu “Hulu Ledak gerakan
reformasi yaitu KAMMI..” dan lead tulisan saya ternyata menjadi bagus.
Untuk Newspeg misalnya teman saya Setiyo Hadi pernah menulis tentang
sejarah kontemporer ini sangat tidak actual. Ketika itu ada peristiwa
pembebasan tapol PKI yaitu Subandrio dan Oemar Dhani langsung peritiwa ini
dijadikan paragraph pertama untuk tulisan sejarah kontemporer dan tulisan
inipun menjadi actual dan dimuat di Republika.
- Mulailah menulis dengan kunci 3
hal yaitu: tulis, tulis, dan tulis.
Contoh Tulisan Feature
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Dmaestro Edisi
Oktober 2004
Haji Agus Salim: Guru para pemuda,
ulama, dan diplomat Indonesia
Membicarakan
Haji Agus Salim sangat aktual bulan Oktober ini. Dia lahir bulan Oktober, dia
gurunya para pemuda di Jong Islamieten Bond yang ikut Sumpah Pemuda bulan
Oktober 1928, bulan Oktober tahun ini juga dimulai bulan Ramadhan dan Agus
Salim adalah seorang ulama dan guru para ulama di Indonesia. Dua bulan yang
lalu (Agustus 2004) juga baru terbit buku “Pidato Perpisahan Haji Agus Salim
(sebelum meninggal) di Cornell University Amerika Serikat”. Buku itu
diterbitkan oleh Pusat Kajian Indonesia di Cornell University Amerika Serikat.
Bulan Oktober ini juga kita akan mengetahui siapa pemimpin Republik Indonesia,
teladan kepemimpinan juga bias kita ambil dari Agus Salim yang tidak
mementingkan golongannya. And The Story Begin:
Dalam
sebuah rapat umum ada suara mengembik dari massa yang salah seorangnya adalah
Sutan Syahrir, “Embeeek-Embeeeek” (mengejek Haji Agus Salim yang berjenggot dan
diibaratkan seperti kambing oleh yang mengejeknya).
“Bismillahir
Rahmanir Rahim”, kata Agus Salim.
“Mbeeek..
Mbeeek..” seru suara dari massa.
“Assalamu
‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh”, Agus Salim membuka pembicaraan.
“Mbeeek…
Mbeeeeek….”, seru massa lagi.
Agus
Salim menjawab dgn cerdas, “Bagi saya sungguh suatu hal yang sangat
menyenangkan bahwa kambing-kambingpun telah mendatangi ruangan ini untuk
mendengarkan pidato saya. Hanya saying sekali bahwa mereka kurang mengerti
bahasa manusia sehingga mereka menyela dengan cara yang kurang pantas. Jadi
saya sarankan untuk sementara kambing-kambing dibawa ke luar untuk sekadar
makan rumput di lapangan. Sesudah pidato saya ini, yang ditujukan kepada
manusia selesai, kambing-kambing akan dipersilakan masuk kembali dan saya akan
berpidato dalam bahasa kambing khusus untuk mereka. Karena di dalam agama Islam
bagi kambingpun ada amanatnya. Dan saya menguasai banyak bahasa”.
Suatu
jawaban yang cerdas dan diplomatis. Ya Agus Salim memang cerdas, menguasai
banyak bahasa dan gurunya para diplomat Indonesia sejak zaman Belanda sampai
awal kemerdekaan Indonesia.
Haji
Agus Salim dikenal sebagai seorang ulama, diplomat, dan penulis hebat di
Indonesia. Pengetahuannya yang luas mengenai agama Islam, dipadu dengan
intelektualitas, kesederhanaan, serta kematangan berpolitik menjadikannya salah
satu tokoh terkenal pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ketaatannya
pada ajaran agama Islam tidak mengekang jiwanya yang bebas mendengarkan suara
hati nuraninya, baik dalam kiprah politiknya maupun dalam kehidupan pribadinya.
Ia tokoh pembaharu Islam dan pembawa kemajuan. Hal ini terlihat ketika ia
membuka tabir pemisah dalam pengajian yang memisahkan laki-laki dan perempuan.
Ia ingin wanita dan laki-laki setara kedudukannya. Iapun tidak memaksakan agama
Islam untuk menjadi agama resmi ataupun agama yang mendominasi bangsa
Indonesia. Ini terlihat ketika ia menyetujui usul Mohammad Hatta untuk
menghapus tujuh kata dalam piagam Jakarta yaitu “Dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Hal
yang sering dilupakan ketika kita membicarakan sejarah Indonesia adalah fakta
bahwa ketika usia 41 tahun (yaitu tahun 1925) Haji Agus Salim membentuk dan
menjadi penasehat Jong Islamieten Bond, tempat berkumpulnya anak-anak muda
intelektual muslim yang kemudian mayoritas bergabung dalam Partai Masyumi,
suatu partai moralis pembela demokrasi (Ada juga yang bergabung dalam PSI yaitu
Mr. Hamid Algadri). Para intelektual muda muslim ini adalah di antaranya
Mohammad Roem, Mohammad Natsir, Buya Hamka, A.R. Baswedan. Buya Hamka nantinya
menjadi guru Cak Nur, Azyumardi Azra, Ruydi Hamka, dan Fachry Ali. Mohammad
Natsir menjadi guru Cak Nur, Yusril Ihza Mahendra, Amien Rais, Didin
Hafiduddin, Imaduddin Abdul Rahim, dan Deliar Noer. Mohammad Roem menjadi guru
Cak Nur dan Adi Sasono. Jadi Agus Salim menjadi akar iilmuwan, pemikir,
pendidik, dan politisi Indonesia.
Anggota-anggota
Jong Islamieten Bond ini juga pada tahun 1928 mengikuti Kongres Pemoeda II yang
menelurkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
Agus
Salim selain menjadi menteri luar negeri setelah Indonesia merdeka ia juga
menjadi penasehat semua Menteri luar negeri sampai akhir hayatnya tahun 1954.
Sejak Sutan Syahrir, Mohammad Roem, Mohammad Hatta, Ahmad Soebardjo, dan
lain-lain. Jadi ia bukan saja guru intelektual Muslim Indonesia tetapi juga
guru para diplomat Indonesia dan peletak dasar diplomasi kementrian luar negeri
Republik Indonesia.
Ia
juga seorang yang anti sekolah (terutama sekolah Belanda). Dari kesebelas
anaknya tidak ada yang menempuh pendidikan sekolah kecuali yang bungsu, itupun
setelah Indonesia merdeka dan langsung masuk SMP tidak sekolah SD. Tetapi
kecerdasan semua anaknya itu dikagumi dan diakui walaupun mereka tidak sekolah.
Agus Salim mendidik sendiri semua anaknya itu.
Agus
Salim yang lahir pada tanggal 8 Oktober 1884 di Kota Gadang, Bukit Tinggi
Sumatra Barat dan keturunan jaksa wilayah ini memang seorang yang cerdas.
Mungkin ada faktor genetik juga dari ayahnya yang jaksa dan kakeknya yang ulama
serta keluarga ibunya yang ulama.
Ketika
Salim lulus dari HBS (Hogere Burgerschool, setingkat SMA) ia menjadi lulusan
HBS terbaik di seluruh Indonesia. Hal ini menyebabkan R.A. Kartini mengusulkan
kepada pemerintah Belanda untuk mengalihkan bea-siswa untuk dirinya (tetapi
dihalangi orangtua Kartini) agar diberikan kepada Agus Salim saja untuk
melanjutkan ke sekolah kedokteran di Belanda. Tapi pemerintah Belanda tidak
mengabulkannya.
Tapi
memang di balik semua musibah ada hikmah. Haji Agus Salim di kemudian hari
bersyukur tidak jadi menerima bea-siswa kedokteran. “Kalau saya menerima
bea-siswa kedokteran belom tentu saya menjadi tokoh pergerakan dan pejuang
Indonesia merdeka”, katanya di Cornell University, Amerika Serikat.
Haji
Agus Salim juga jenius di bidang Bahasa. Ia menguasai Bahasa Belanda, Inggris,
Arab, Perancis, Jerman, Turki, dan Jepang. Wajar saja kalau ia menjadi filosof
sekaligus Mbah-nya para diplomat Indonesia. Memang tokoh yang luar biasa.
Akankah Indonesia melahirkan orang besar seperti ini lagi? Mari kita bertanya
saja pada rumput yang bergoyang!
(Agung Pribadi)
Sejarawan, Peneliti pada Yayasan
Harkat Bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar