Selasa, 25 Juni 2013

BAGAIMANA MENULIS FEATURE


Mengapa kamu menulis? “Karena kebelet!”, kata Putu Wijaya. Mengapa memilih menulis feature? “Karena kebelet, asyik dan fun!”, kata saya sendiri. Bagaimana tidak kebelet menulis kalau kita banyak membaca. Ya! Bagaikan sampah di Leuwigajah di mana kandungan kimianya kemudian meledak. Demikian pula kalau kita banyak membaca buku, majalah, Koran, dan internet pasti ingin meledak. Ledakan itu bisa berupa ngomong, tapi biasanya orang lain nggak mau meluangkan waktu untuk ngedengerin omongan kita.

Kalau menulis kita tingal menulis. Kalau tidak dimuat di media massa ya minimal menulis catatan harian. Siapa yang nyangka catatan harian Soe Hok Gie kemudian dibukukan setelah menjadi best seller bertahun-tahunpun kemudian difilmkan. Juga catatan harian Anne Frank, seorang anak biasa berumur 6 tahun pun kemudian dibukukan dan difilmkan karena menceritakan kekejaman Perang Dunia II.

Atau tulis saja surat atau e-mail. Surat-surat Kartini ternyata dibukukan, surat-menyurat Moh. Roem dan Cak Nur juga dibukukan, surat menyurat Maududi dengan Maryam Jamilah juga dibukukan. Dalam buku Chicken Soup for The Surviving Soul diceritakan ada seorang yang terkena kanker kemudian kakinya harus diamputasi dan dia sering menulis surat kepada teman-temannya dan kepada para ahli kedokteran ternyata kemudian surat-surat itu dibukukan dan menjadi best seller di Amerika Serikat, dan dia menjadi kaya raya.

Apalagi sekarang ada internet, maka makin gampang aja kita untuk menulis. Nulis aja di milis atau nulis di blogspot individual journal. Persoalannya kemudian adalah bermanfaat atau tidak. Kata Nabi Muhammad khan “Berkata-katalah yang baik atau diam”. Begitu pula menulis kalau kita menulis yang baik dan bermanfaat khan bagus, bukannya menulis untuk berghibah alias menceritakan aib orang lain salah sedikit bisa jatuh ke fitnah.

Memangnya menulis feature itu asyik dan fun? Iya! Sebelum menulis feature itu khan kita harus mengumpulkan data dulu sebanyak-banyaknya baik melalui membaca, mewawancarai si pelaku ataupun mewawancarai pakar. Ibaratnya menulis straight news itu adalah musik klasik sebagai dasar bermusik (musik baku) dan menulis feature adalah musik jazz yang penuh dengan improvisasi. Kalau dalam sepak bola menulis straight news adalah sepak bola Inggris yang to the point, kalau menulis feature itu adalah permainan Brasil yang penuh improvisasi dan jogo bonito (sepak bola indah) yang penuh gocekan dan tendangan-tendangan ajaib. Sebelum kita berimprovisasi tentu saja kita harus menguasai yang baku terlebih dahulu. Untuk menulis feature, sebelumnya kita harus mengumpulkan data dan fakta sebanyak mungkin tentang yang akan kita tulis. Pengalaman saya dalam menulis feature kalau kita menguasai yang bakunya yaitu fakta sebanyak-banyaknya maka kita bebas memilih-milih dan memilah-milah fakta mana yang akan kita ambil untuk feature yaitu terutama yang unik dan mengandung human interest. Ketika saya saya akan menulis di Hidayatullah tentang K.H. Abdullah Syafi’I, saya menulis dalam waktu hanya setengah jam. Karena riset di lapangan sudah saya lakukan selama 3 hari dan fakta di kepala saya sudah banyak karena ketika kelas 2 SMP saya rajin mendengarkan radio Asy Syafi’iyah terutama ceramah Allah Yarham K.H. Abdullah Syafi’I sehingga data-data tentang human interestpun sudah bertumpuk di otak saya. Dan tulisan ini dibilang bagus oleh awak redaksi Hidayatullah. Ketika saya hendak menulis tentang Ki Hajar Dewantara saya cukup mudah juga karena saya mempunyai banyak buku tentangnya dan langsung saya pilih  Kesulitan timbul ketika tokohnya memang tidak menarik. Misalnya pengalaman saya ketika hendak menulis 3 tulisan tentang: 1. Ki Hajar Dewantara, 2. Cipto Mangunkusumo, 3. Dr. Soetomo. Sayapun membaca biografi mereka. Untuk Ki Hajar banyak kisah menarik misalnya ketika dia di Belanda dia sering masak jeroan kambing dan tetelan dan orang Belanda merasa kasihan karena di sana makanan seperti itu adalah makanan anjing. Untuk Cipto juga banyak kisah menarik misalnya ketika ia menaruh bintang penghargaan dari Ratu Belanda di bokongnya sebagai protes. Tapi Saya sudah mebolak-balik biografi tentang dr. Soetomo saya tetap kesulitan karena tidak ada yang menarik karena ia adalah orang yang ikut arus. Ketika semua orang non kooperasi dia ikutan. Ketika trend nya adalah kooperasi dia ikut-ikutan kooperasi. Sayapun tidak berhasil menulis feature tentang dr. Soetomo.

Sebenarnya apa sich feature itu? Feature adalah sebuah tulisan tentang fakta yang cara memberitakan faktanya dengan gaya sastra baik itu gaya cerpen, roman, novel, puisi, atau prosa liris. Di feature ini harus ada unsur yang unik, kemudian juga ada human interest-nya. Misalnya berita tentang tokoh baik yang sudah meninggal atau masih hidup atau peristiwa misalnya berita tentang demam Piala Dunia di Jerusalem ternyata membuat orang Arab dan Israel berdamai dan sama-sama menonton bola.

Sebenarnya kalau Babad Tanah Jawi itu adalah fakta ttg sejarah Jawa, maka dia adalah feature, ternyata Babad itu bercampur antara fakta dengan mitos. Kita sebagai muslim yakin bahwa Al Quran adalah fakta dan gaya bahasanya sastra melebihi sastra lainnya di seluruh dunia maka Al Qur-an itu bisa disebut Feature yang sangat tinggi.

Sebenarnya tulisan feature di dunia modern dimulai ketika ada gerakan post modernisme. Modernisme lebih sering menceritakan narasi besar. Sejarahpun sejarah orang besar kata Thomas Carlyle. Lalu gerakan post modernisme lahir dan mengkritik adanya centrum/ center/ pusat yang disebut narasi besar. Lalu menurut post modernisme tidak ada narasi besar, tidak ada centrum, semua sejajar. Michelle Foucault pun mulai menulis sejarah orang gila dan sejarah sex terutama homosexual yang selama ini tidak dianggap penting. Sejarawan lain mulai menulis sejarah petani, sejarah olah raga, sejarah local, sejarah kota, sejarah desa, sejarah profesi, dan lain-lain.  Di dunia jurnalisme lahir New Journalism yaitu menulis berita dengan gaya sastra. Kemudian kalau wartawan menulis berita tidak disebut menulis berita melainkan disebut menulis cerita. Cerita yang dipilihpun bukan narasi besar melainkan narasi kecil, dipilih yang unik dan mengandung human interest. Sebuah buku dari Anis Abiyoso dan Ahmadun Yosi Herfanda yaitu Teror Subuh di Kanigoro pun termasuk New Journalism dan bentuk tulisannya adalah feature.
Cara Menulis Feature
  1. Mencari dan menjaring ide.
    1. Feature Sejarah. Agar menjadi aktual lihatlah kalender ada kelahiran atau kematian tokoh besar siapa atau ada peringatan peristiwa apa dan siapa yang berperan. Lalu apa relevansinya di masa sekarang. Ini penting untuk Koran atau majalah terutama yang tidak ada rubrik khusus sejarahnya. Peristiwa sejarah misalnya Hitler lalu dicari yang unik misalnya dari literatur ditemukan ternyata masa kecilnya dia sering disiksa ayahnya, Stalin juga podo wae. Atau yang mengusulkan membantai orang Yahudi di Perang Dunia II ternyata Yahudi juga yaitu Jendral Heinrich dan salah satu kakek Hitler juga ternyata Yahudi.
    2. Feature peristiwa masa sekarang. Cari yang unik dan ada human interest dari peristiwa itu. Misalnya Ujian Akhir Nasional ternyata banyak siswa yang melakukannya di gang atau di tenda-tenda gara-gara sekolah bocor atau hancur. Atau berita tentang Kutai yang Kabupaten terkaya di Indonesia ternyata banyak sekolah yang hampir ambruk dan banyak guru yang mogok belajar karena gaji tidak dibayar-bayar. Atau penyakit polio ternyata ada yang satu keluarga terkena polio kecuali bapaknya ini adalah peristiwa yang bisa ditulis menjadi feature dahsyat atau bahasa kasar dari para pemilik modal pers, “menjual air mata”. Atau peristiwa kebakaran, kita gali sedalam-dalamnya nanti kita bisa menemukan misalnya ternyata ada anak yang tidak jadi ujian nasional karena semua seragam, uang, dan kartu identitas ujian terbakar misalnya. Dari peristiwa Tsunami di Aceh juga banyak “tambang emas” untuk penulisan feature. Atau tentang TKI misalnya bisa ditulis TKI yang gagal total dan yang sukses. Atau tentang kiat sembuh mantan pengguna narkoba.
  2. Mengumpulkan data dan fakta sebanyak-banyaknya. Misalnya membaca buku biografi tokoh. Semakin banyak kita membacanya semakin banyak kita bisa improvisasi dan menulis feature yang bagus misalnya ketika saya menulis tentang K.H. Abdullah Syafi’I saya menemukan fakta beliau pernah menegur PSSI dan pengelola gelora Senayan karena memainkan sepak bola dari pukul 17.00-19.00 WIB sehingga menabrak waktu Maghrib lalu pertandingan bola di Senayan berubah menjadi pukul 19.00-21.00 WIB. Atau wawancara orang-orang dan gali terus sampai ketemu yang unik. Misalnya saya ketika menulis tentang sejarah Konferensi Asia Afrika saya tidak menemukan yang unik akhirnya terus saya gali dan tidak bosan-bosan, akhirnya saya menemukan bahwa gedung KAA ketika konferensi itu bocor ketika hujan dan ada panitia dan delegasi yang melepas jasnya untuk mengepel lantai yang basah.
  3. Mencari Lead yang baik (Judul dan paragraph pertama). Cerita-cerita unik itu biasanya saya jadikan paragraph pertama. Atau kita harus mencari Newspeg (Cantelan Berita)-nya ini terutama untuk Koran misalnya Kompas. Teman saya Indra J. Piliang misalnya pernah membuat tulisan dengan judul “Kursi RI untuk Apa Jendral?” dan ini banyak dipuji oleh pakar komunikasi. Atau misalnya dalam proses ketika saya menulis tentang satu tahun ulang tahun KAMMI, saya menulis datar-datar saja. Lalu Pemred Aliansi, Wisnu Pramudya, mengubah paragraph pertama menjadi “Ujung tombak gerakan reformasi yaitu KAMMI….” Lalu diubah lagi dan inilah yang muncul di Tabloid Aliansi yaitu “Hulu Ledak gerakan reformasi yaitu KAMMI..” dan lead tulisan saya ternyata menjadi bagus. Untuk Newspeg misalnya teman saya Setiyo Hadi pernah menulis tentang sejarah kontemporer ini sangat tidak actual. Ketika itu ada peristiwa pembebasan tapol PKI yaitu Subandrio dan Oemar Dhani langsung peritiwa ini dijadikan paragraph pertama untuk tulisan sejarah kontemporer dan tulisan inipun menjadi actual dan dimuat di Republika.
  4. Mulailah menulis dengan kunci 3 hal yaitu: tulis, tulis, dan tulis.

Contoh Tulisan Feature
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Dmaestro Edisi Oktober 2004
Haji Agus Salim: Guru para pemuda, ulama, dan diplomat Indonesia
            
Membicarakan Haji Agus Salim sangat aktual bulan Oktober ini. Dia lahir bulan Oktober, dia gurunya para pemuda di Jong Islamieten Bond yang ikut Sumpah Pemuda bulan Oktober 1928, bulan Oktober tahun ini juga dimulai bulan Ramadhan dan Agus Salim adalah seorang ulama dan guru para ulama di Indonesia. Dua bulan yang lalu (Agustus 2004) juga baru terbit buku “Pidato Perpisahan Haji Agus Salim (sebelum meninggal) di Cornell University Amerika Serikat”. Buku itu diterbitkan oleh Pusat Kajian Indonesia di Cornell University Amerika Serikat. Bulan Oktober ini juga kita akan mengetahui siapa pemimpin Republik Indonesia, teladan kepemimpinan juga bias kita ambil dari Agus Salim yang tidak mementingkan golongannya. And The Story Begin:
Dalam sebuah rapat umum ada suara mengembik dari massa yang salah seorangnya adalah Sutan Syahrir, “Embeeek-Embeeeek” (mengejek Haji Agus Salim yang berjenggot dan diibaratkan seperti kambing oleh yang mengejeknya).
“Bismillahir Rahmanir Rahim”, kata Agus Salim.
“Mbeeek.. Mbeeek..” seru suara dari massa.
“Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh”, Agus Salim membuka pembicaraan.
“Mbeeek… Mbeeeeek….”, seru massa lagi.
Agus Salim menjawab dgn cerdas, “Bagi saya sungguh suatu hal yang sangat menyenangkan bahwa kambing-kambingpun telah mendatangi ruangan ini untuk mendengarkan pidato saya. Hanya saying sekali bahwa mereka kurang mengerti bahasa manusia sehingga mereka menyela dengan cara yang kurang pantas. Jadi saya sarankan untuk sementara kambing-kambing dibawa ke luar untuk sekadar makan rumput di lapangan. Sesudah pidato saya ini, yang ditujukan kepada manusia selesai, kambing-kambing akan dipersilakan masuk kembali dan saya akan berpidato dalam bahasa kambing khusus untuk mereka. Karena di dalam agama Islam bagi kambingpun ada amanatnya. Dan saya menguasai banyak bahasa”.
Suatu jawaban yang cerdas dan diplomatis. Ya Agus Salim memang cerdas, menguasai banyak bahasa dan gurunya para diplomat Indonesia sejak zaman Belanda sampai awal kemerdekaan Indonesia.
Haji Agus Salim dikenal sebagai seorang ulama, diplomat, dan penulis hebat di Indonesia. Pengetahuannya yang luas mengenai agama Islam, dipadu dengan intelektualitas, kesederhanaan, serta kematangan berpolitik menjadikannya salah satu tokoh terkenal pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ketaatannya pada ajaran agama Islam tidak mengekang jiwanya yang bebas mendengarkan suara hati nuraninya, baik dalam kiprah politiknya maupun dalam kehidupan pribadinya. Ia tokoh pembaharu Islam dan pembawa kemajuan. Hal ini terlihat ketika ia membuka tabir pemisah dalam pengajian yang memisahkan laki-laki dan perempuan. Ia ingin wanita dan laki-laki setara kedudukannya. Iapun tidak memaksakan agama Islam untuk menjadi agama resmi ataupun agama yang mendominasi bangsa Indonesia. Ini terlihat ketika ia menyetujui usul Mohammad Hatta untuk menghapus tujuh kata dalam piagam Jakarta yaitu “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Hal yang sering dilupakan ketika kita membicarakan sejarah Indonesia adalah fakta bahwa ketika usia 41 tahun (yaitu tahun 1925) Haji Agus Salim membentuk dan menjadi penasehat Jong Islamieten Bond, tempat berkumpulnya anak-anak muda intelektual muslim yang kemudian mayoritas bergabung dalam Partai Masyumi, suatu partai moralis pembela demokrasi (Ada juga yang bergabung dalam PSI yaitu Mr. Hamid Algadri). Para intelektual muda muslim ini adalah di antaranya Mohammad Roem, Mohammad Natsir, Buya Hamka, A.R. Baswedan. Buya Hamka nantinya menjadi guru Cak Nur, Azyumardi Azra, Ruydi Hamka, dan Fachry Ali. Mohammad Natsir menjadi guru Cak Nur, Yusril Ihza Mahendra, Amien Rais, Didin Hafiduddin, Imaduddin Abdul Rahim, dan Deliar Noer. Mohammad Roem menjadi guru Cak Nur dan Adi Sasono. Jadi Agus Salim menjadi akar iilmuwan, pemikir, pendidik, dan politisi Indonesia.
Anggota-anggota Jong Islamieten Bond ini juga pada tahun 1928 mengikuti Kongres Pemoeda II yang menelurkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
Agus Salim selain menjadi menteri luar negeri setelah Indonesia merdeka ia juga menjadi penasehat semua Menteri luar negeri sampai akhir hayatnya tahun 1954. Sejak Sutan Syahrir, Mohammad Roem, Mohammad Hatta, Ahmad Soebardjo, dan lain-lain. Jadi ia bukan saja guru intelektual Muslim Indonesia tetapi juga guru para diplomat Indonesia dan peletak dasar diplomasi kementrian luar negeri Republik Indonesia.
Ia juga seorang yang anti sekolah (terutama sekolah Belanda). Dari kesebelas anaknya tidak ada yang menempuh pendidikan sekolah kecuali yang bungsu, itupun setelah Indonesia merdeka dan langsung masuk SMP tidak sekolah SD. Tetapi kecerdasan semua anaknya itu dikagumi dan diakui walaupun mereka tidak sekolah. Agus Salim mendidik sendiri semua anaknya itu.
Agus Salim yang lahir pada tanggal 8 Oktober 1884 di Kota Gadang, Bukit Tinggi Sumatra Barat dan keturunan jaksa wilayah ini memang seorang yang cerdas. Mungkin ada faktor genetik juga dari ayahnya yang jaksa dan kakeknya yang ulama serta keluarga ibunya yang ulama.
Ketika Salim lulus dari HBS (Hogere Burgerschool, setingkat SMA) ia menjadi lulusan HBS terbaik di seluruh Indonesia. Hal ini menyebabkan R.A. Kartini mengusulkan kepada pemerintah Belanda untuk mengalihkan bea-siswa untuk dirinya (tetapi dihalangi orangtua Kartini) agar diberikan kepada Agus Salim saja untuk melanjutkan ke sekolah kedokteran di Belanda. Tapi pemerintah Belanda tidak mengabulkannya.
Tapi memang di balik semua musibah ada hikmah. Haji Agus Salim di kemudian hari bersyukur tidak jadi menerima bea-siswa kedokteran. “Kalau saya menerima bea-siswa kedokteran belom tentu saya menjadi tokoh pergerakan dan pejuang Indonesia merdeka”, katanya di Cornell University, Amerika Serikat.
Haji Agus Salim juga jenius di bidang Bahasa. Ia menguasai Bahasa Belanda, Inggris, Arab, Perancis, Jerman, Turki, dan Jepang. Wajar saja kalau ia menjadi filosof sekaligus Mbah-nya para diplomat Indonesia. Memang tokoh yang luar biasa. Akankah Indonesia melahirkan orang besar seperti ini lagi? Mari kita bertanya saja pada rumput yang bergoyang!

(Agung Pribadi)
Sejarawan, Peneliti pada Yayasan Harkat Bangsa.


Tidak ada komentar: