Sepak terjang para politisi di negeri ini membuat banyak orang muak. Politik telah identik dengan kekotoran, penuh tipu muslihat, dan tidak manusiawi. Saling menyikut dan menjegal merupakan kemestian, bahkan kepada teman sendiri. Korupsi merajalela, hingga ke batas yang membuat banyak orang tak lagi percaya bahwa masih ada kejujuran di dunia politik. Ini sejalan dengan ungkapan Lord Acton bahwa “power tends to corrupt”, yang memberi gambaran bagaimana kekuasaan itu cenderung diselewengkan, disalahgunakan, serta dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan golongan tertentu.
Padahal, politik seharusnya menggunakan etika. Etika dan politik seharusnya berjalan seiring, karena keduanya menjadi penentu kebahagiaan hidup umat manusia. Immanuel Kant menegaskan bahwa meskipun harus cerdik seperti ular, seorang politisi juga harus tulus seperti merpati. Pada akhirnya merpati yang akan menang, karena dia tidak pernah bisa beristirahat sedetik pun disebabkan matanya yang selalu awas terhadap kehadiran ular.
Sayangnya, di negeri ini, sisi merpati dari para politisi sepertinya sudah lenyap. Rakyat menyaksikan bahwa pemimpin negara ini masih gamang terhadap posisinya sebagai presiden atau sebagai pembina partai. Pemimpin kita justru tidak ada di tempat ketika ada kasus-kasus yang menurut akal sehat masyarakat, seharusnya butuh intervensi langsung presiden. Misalnya, dalam kasus TKI yang telah mencoreng kehormatan bangsa, kasus pelanggaran kedaulatan negara yang berkali-kali dilakukan Malaysia, kasus-kasus korupsi yang tak jua tuntas, atau kasus penguasaan pihak asing atas kekayaan negara. Sebaliknya, sang pemimpin malah sering melakukan jumpa pers mendadak untuk kasus-kasus yang menerpa dirinya, keluarganya, dan partainya. Bahkan, membalas surat seorang tersangka koruptor sepertinya dianggap lebih penting dibanding menjawab keluhan warga korban Lapindo dengan tindakan yang nyata.
Di sinilah etika politik memainkan peranannya. Politisi yang beretika akan mampu memilah, mana urusan yang seharusnya menjadi prioritas, mana yang tidak. Etika ini perlu ditegaskan dan diatur dalam bentuk undang-undang. Undang-Undang kepartaian atau pejabat pemerintah sudah selayaknya ditinjau ulang. Para pejabat pemerintah dari pusat hingga daerah—terutama presiden— mesti melepaskan atribut kepartaiannya secara formal maupun moral, demi menjadikan mereka lebih netral dalam mengurus negara, agar tidak terjadi konflik kepentingan di antara keduanya.
Jika etika politik tidak diatur secara formal, semua politisi akan beretika semaunya sendiri. Akibatnya, kita melihat hari ini bahwa partai politik yang semestinya bisa menjadi pilar demokrasi, justru menjadi bagian dari kekuatan negara, kekuatan pasar, dan ajang perebutan kekuasaan. Bahkan, saya berpendapat bahwa sistem kepartaian sebaiknya dibubarkan karena malah bisa memberikan kesempatan lebih bagi orangorang yang memang layak mengurus negara.
Kita bisa mencontoh Iran sebagai negara yang tidak mengenal sistem kepartaian. Meski tanpa partai, terbukti Iran justru mampu menyelenggarakan pemilu yang lebih demokratis. Pilpres Iran pada tahun 2005 menunjukkan cukup tingginya tingkat partisipasi politik rakyat, karena diikuti oleh sekitar 65 persen dari mereka yang memiliki hak pilih. Lebih tinggi dibanding Pilpres Amerika Serikat (Nopember 2004), yang hanya diikuti sekitar 50 persen pemilik hak suara.
Bahkan Kementrian Dalam Negeri Iran, yang bertanggung jawab atas berlangsungnya Pilpres tersebut, harus memperpanjang batas waktu pencoblosan hingga dua kali karena massa masih membeludak.
Pakar politik yang telah lebih dari 40 tahun menetap di Amerika, Prof. Hamid Maulana, menyatakan bahwa demokrasi yang terjadi di Iran merupakan demokrasi yang memenuhi syarat dari sudut pandang demokrasi apa pun. Pada batas minimal, seluruh mazhab demokrasi menyepakati tiga asas demokrasi, yaitu peran masyarakat, partisipasi, dan keberagaman. Tiga asas ini kenyataannya terpenuhi dalam pesta demokrasi di Iran tersebut.
Hal ini terulang lagi pada pemilu 2009, di mana 85 persen warga Iran pemegang hak suara berpartisipasi di dalamnya. Sebuah capaian yang tampaknya belum pernah diperoleh dalam pesta demokrasi di negara-negara lainnya, termasuk di Barat. Ini menunjukkan bahwa sistem kepartaian pada dasarnya bukan penentu kedemokratisan tatanan pemerintahan.
Selain itu, dalam pandangan politik Islam, para pemikir terdahulu—seperti Al-Mawardi, Al-Farabi, Al-Ghazali, dan sebagainya—telah menekankan bahwa seorang pemimpin itu sejatinya memegang amanat Tuhan. Amanat rakyat pada dasarnya merupakan bagian dari amanat Tuhan.
Ada sebuah kisah menarik. Saat menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib pernah didatangi oleh saudara kandungnya, Aqil, yang memohon kepadanya agar diberi sedikit uang dari baitul maal demi memenuhi kebutuhan hidupnya dikarenakan keuangannya yang sedang bermasalah. Mendengar itu, Ali segera mengambil sepotong besi membara dan mendekatkannya ke tangan Aqil. Seketika Aqil berteriak kesakitan disebabkan hawa panas dari besi tersebut dan segera menarik tangannya. Ali kemudian berkata, “Baru dengan hawa sepotong besi membara saja kau sudah kesakitan, bagaimana mungkin kau berani memerintahkanku untuk masuk ke dalam neraka dengan memberimu uang negara.”
Baitul maal adalah lembaga yang mengurusi segala pemasukan dan pengeluaran keuangan negara. Pemimpin negara jelas bertanggung jawab penuh agar penggunaan uang negara benarbenar untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi. Bila pemimpin negara melanggar hal ini, azab Allah akan menantinya kelak di Hari Akhir. Ketika kita memandang bahwa jabatan politik adalah sebuah amanah dari Allah, maka sudah tentu, etika berpolitik pun harus berada dalam koridor nilai-nilai ke-Islaman. Dan kita sebagai rakyat hendaknya mampu memilih mana politisi yang beretika dan layak untuk kita beri dukungan dalam memimpin negara ini.
*Penulis adalah kandidat doktor bidang Pemikiran Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar