Sabtu, 03 Agustus 2019

Catatan Fiktif Yang Mungkin Nyata

Sekali saja kita menginjakkan kaki di pulau itu, kita serasa pulang ke masa lalu. Kondisi dulu tidak berbeda dengan sekarang, jalan-jalan masih berlubang dan mata pencaharian yang sulit tak kunjung selesai. Tak ayal banyak pemuda dan masyarakat memilih status sebagai perantau untuk mengembangkan taraf hidupnya.

Masa-masa itu tidak mengubah kita menjadi lebih kaya untuk saling berbagi, semenjak persiapan bahan makanan hanya cukup seminggu dan habis di atas tungku-tungku dapur petani jagung. Pemerintahan negeri ini tidak mengubah nasib rakyatnya yang tidak sejalan, kata mereka biarlah waktu yang akan mengubahnya.

Para pemimpin pun tidak mau lagi menjadi kacung karena masa panen tak terakumulasi menjadi upeti. Jambu mete tidak berbunga lagi akibat musim gugur yang berkepanjangan, kayu jati pun sama telah habis terjual tanpa reboisasi. Wajar saja kehidupan di kampung makin tak menentu dan menggeser nilai identitas para petani menjadi buruh dan penganggur. Sekarang tanah olahan telah berubah menjadi batu-batu cadas yang tak bisa di tanami.

Terang saja mereka tidak lagi produktif karena waktu telah dimakan usia, para tua adat tidak khawatir jika anak-anak perantau itu masih mengenyam pendidikan di ujung negeri, kelak mereka akan kembali membangun serta menghargai mereka, menggantikan para pemimpin negeri yang tidak memahami nilai-nilai dan etika kepemimpinan melayani.

Selain berkebun, mereka juga pergi melaut menjaring harapan-harapan yang belum pasti. Berharap hasil tangkapan bisa menemani jagung kering di atas tungku perapian yang mulai padam. Tanpa kompas dan terus mengikuti arah tiupan angin membawa nelayan-nelayan tua itu, kadangkala ada yang pulang membawa hasil tetapi ada pula yang pergi tak kembali. Sedih rasanya, ketika mendengar bahwa mereka mati tanpa pusara karena hilang di telan gelombang. (KL)

Tidak ada komentar: