22 oktober 2014 kita
anggap sebagai tonggak lahirnya poros baru (kepemimpinan rakyat), ketika
berjuta mata menyaksikan momentum pelantikan pemimpin Negara. Rakyat terpana dengan semarak perayaan hari
milik mereka, nasionalis dan penuh kekeluargaan tanpa dibatasi dengan
protokoler yang ketat, begitu biasa kita simbolkan demokrasi kali ini dengan
kutipan-kutipan Mead seorang ahli komunikasi dalam teori pertukaran sosial.
Bagaimana tidak, sorak ramai para tukang becak, petani dan nelayan tidak ada
bedanya dengan kegembiraan seorang presiden sebagai pemimpin negara. Padu
bercampur keringat dengan emosi yang sama mengemban amanah.
Keberagaman dalam
kebersamaan di hantarkan, hari itu menjadi hari yang sangat bersejarah. Di masa
transisi, wacana semakin tergambar ketika
semua pemimpin akan disandingkan dengan tokoh joko widodo pemimpin milik rakyat,
dialah yang menjadi aktor pergerakan sosial lintas etnis dalam menegaskan demokrasi
sebenarnya.
Sebelumnya reformasi yang
sudah berlangsung hampir dua dekade ini, banyak perspektif telah di rekam
masyarakat. Kita dapat mengamati media-media sosial serta ungkapan fakta
masyarakat bahwa di masa kepemimpinan sebelumnya, terjadi ketidakpuasan karena
pemberdayaan dan keberpihakan masih menjadi buah bibir cerita dan derita rakyat,
program pembangunan dianggap fiktif dan jauh dari harapan. Itu sebabnya, zaman sekarang
cerita rakyat masih menjadi dongeng di bangku parlemen padahal merekalah wakil
rakyat yang katanya dulu di pilih oleh rakyatnya.
Kehadiran Jokowi mampu
memberikan warna baru ditengah bangsa yang frustasi, popularitas, tingkat
kesukaan serta keterpilihan masyarakat terus melejit naik di ambang batas
parameter politik dengan berpihak pada pemimpin yang hadir melalui gaya
interaktif. keberpihakkan rakyat tertuju pada sosok Jokowi dengan meninggalkan
para wakil rakyatnya sendiri karena rakyat tidak menyukai gaya yang tidak
interaktif (komunikatif) dan observatif (turun lapangan).
Politik Jejaring
Sosial
Mungkin kita bisa belajar
dari pikiran-pikiran Mark Zuckerberg (pendiri facebook) yang mampu memberikan
inspirasi kepada banyak orang bahwa jejaring sosial sangat penting dalam
komunikasi antar individu masyarakat. Di sisi lain Mead juga menegaskan bahwa masyarakat
adalah sebagai jejaring hubungan sosial yang diciptakan oleh manusia dan sangat
dipengaruhi oleh lingkungannya. Individu-individu yang terlibat di dalam
masyarakat, keterhubungan yang mereka pilih di lakukan secara aktif dan
sukarela.
Secara kasat Jokowi dan
Mark Zuckerberg memahami secara implicit makna pertukaran sosial yang
dikemukakan oleh Mead. Dalam kerangka interaksi sosial penggunaan jejaring
bukan hanya dapat digunakan dalam konteks dunia maya tetapi dalam aktifitas
interaksi sosial masyarakat secara nyata. Saya menganalisa seperti maksud Mead
dalam teorinya bahwa interaksi sosial diawali dengan interaksi personal dengan
mengetahui makna pesan yang diterima.
Apa yang dianggap penting
ketika Jokowi dan Mark Zuckerberg berjumpa (14/10), dalam kutipan media bahwa
mereka membicarakan tentang jejaring sosial facebook,
seberapa penting facebook diantara mereka. Dalam ulasan sebelumnya bahwa
efektifitas pesan harus memberikan nilai-nilai yang mampu di terima oleh
pihak-pihak yang berkomunikasi. Penggunaan dan pengoperasian facebook cukup
sederhana. Mencari mendapati mengamati dan minta pertemanan jika disetujui anda
akan di konfirmasi setelah itu ada saling memahami dalam konteks interaktif.
Mark Zuckerberg telah
mampu mengaplikasikan teori Mead secara baik dalam bentuk jejaring dunia maya
sedangkan Jokowi mampu melanjutkan dan menyelaminya secara mendalam dengan mengkolaborasikannya
secara politik. Di era reformasi, rakyat semakin baik menelaah setiap gerak
langkah para pemimpinnya. Pemimpin politik tentunya harus mendecoding setiap pesan dari rakyatnya. Inilah yang di lakukan
oleh Jokowi, dengan hati-hati setiap makna pesan arus bawah menjadi pengkajian
mendalam. Hal itu dapat kita lihat bagaimana antusiasme pemimpin Negara itu
mengakomodir rakyatnya. Struktur kabinet adalah contoh konkrit dalam periode
presiden ke tujuh ini.
Sungguh, kekuatan rakyat
adalah penghargaan bagi pemimpin seperti jokowi, rakyat di pahami sebagai
elemen penting dalam tumbuhnya demokrasi di Indonesia, sehingga dalam aktifitas
kenegaraan pun sekat rakyat dan pemimpinnya terbuka lebar. Kulit bersentuhan,
muka bertatap dan keadaan emosional mengikat. Konsep kepemimpinan interaktif
dan observatif seyogyanya menjadi cerminan semua pemimpin di Negara ini, sehingga
politik tidak lagi menjadi cerita muslihat kelam dalam lingkup demokrasi
Indonesia.
Kampanye politik Jokowi
terjadi dengan sukarela karena mengedepankan pola interaktif dan observatif
secara empati. Rakyat di hargai sehingga rakyat pun menghargai, itulah
demokrasi yang sesungguhnya. Proses ini menjadi pelajaran pada
momentum-momentum berikutnya bagi para pemimpin. Besok atau lusa jika pola
komunikasi pemimpin dilakukan ala Jokowi dan Mark Zuckerberg, maka kampanye politik
tidak lagi pada tataran kedip mata di tingkat suprastruktur politik, kita cukup
menjaga setiap pertemanan yang telah di konfirmasi.( Karmin Lasuliha)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar