Sabtu, 08 November 2014

Kekuatan Rakyat Ala Jokowi dan Zuckerberg

22 oktober 2014 kita anggap sebagai tonggak lahirnya poros baru (kepemimpinan rakyat), ketika berjuta mata menyaksikan momentum pelantikan pemimpin Negara.  Rakyat terpana dengan semarak perayaan hari milik mereka, nasionalis dan penuh kekeluargaan tanpa dibatasi dengan protokoler yang ketat, begitu biasa kita simbolkan demokrasi kali ini dengan kutipan-kutipan Mead seorang ahli komunikasi dalam teori pertukaran sosial. Bagaimana tidak, sorak ramai para tukang becak, petani dan nelayan tidak ada bedanya dengan kegembiraan seorang presiden sebagai pemimpin negara. Padu bercampur keringat dengan emosi yang sama mengemban amanah.


Keberagaman dalam kebersamaan di hantarkan, hari itu menjadi hari yang sangat bersejarah. Di masa transisi, wacana  semakin tergambar ketika semua pemimpin akan disandingkan dengan tokoh joko widodo pemimpin milik rakyat, dialah yang menjadi aktor pergerakan sosial lintas etnis dalam menegaskan demokrasi sebenarnya. 

Sebelumnya reformasi yang sudah berlangsung hampir dua dekade ini, banyak perspektif telah di rekam masyarakat. Kita dapat mengamati media-media sosial serta ungkapan fakta masyarakat bahwa di masa kepemimpinan sebelumnya, terjadi ketidakpuasan karena pemberdayaan dan keberpihakan masih menjadi buah bibir cerita dan derita rakyat, program pembangunan dianggap fiktif dan jauh dari harapan. Itu sebabnya, zaman sekarang cerita rakyat masih menjadi dongeng di bangku parlemen padahal merekalah wakil rakyat yang katanya dulu di pilih oleh rakyatnya.

Kehadiran Jokowi mampu memberikan warna baru ditengah bangsa yang frustasi, popularitas, tingkat kesukaan serta keterpilihan masyarakat terus melejit naik di ambang batas parameter politik dengan berpihak pada pemimpin yang hadir melalui gaya interaktif. keberpihakkan rakyat tertuju pada sosok Jokowi dengan meninggalkan para wakil rakyatnya sendiri karena rakyat tidak menyukai gaya yang tidak interaktif (komunikatif) dan observatif (turun lapangan).

Politik Jejaring Sosial
Mungkin kita bisa belajar dari pikiran-pikiran Mark Zuckerberg (pendiri facebook) yang mampu memberikan inspirasi kepada banyak orang bahwa jejaring sosial sangat penting dalam komunikasi antar individu masyarakat. Di sisi lain Mead juga menegaskan bahwa masyarakat adalah sebagai jejaring hubungan sosial yang diciptakan oleh manusia dan sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Individu-individu yang terlibat di dalam masyarakat, keterhubungan yang mereka pilih di lakukan secara aktif dan sukarela. 

Secara kasat Jokowi dan Mark Zuckerberg memahami secara implicit makna pertukaran sosial yang dikemukakan oleh Mead. Dalam kerangka interaksi sosial penggunaan jejaring bukan hanya dapat digunakan dalam konteks dunia maya tetapi dalam aktifitas interaksi sosial masyarakat secara nyata. Saya menganalisa seperti maksud Mead dalam teorinya bahwa interaksi sosial diawali dengan interaksi personal dengan mengetahui makna pesan yang diterima.

Apa yang dianggap penting ketika Jokowi dan Mark Zuckerberg berjumpa (14/10), dalam kutipan media bahwa mereka membicarakan tentang jejaring sosial facebook, seberapa penting facebook diantara mereka. Dalam ulasan sebelumnya bahwa efektifitas pesan harus memberikan nilai-nilai yang mampu di terima oleh pihak-pihak yang berkomunikasi. Penggunaan dan pengoperasian facebook cukup sederhana. Mencari mendapati mengamati dan minta pertemanan jika disetujui anda akan di konfirmasi setelah itu ada saling memahami dalam konteks interaktif. 

Mark Zuckerberg telah mampu mengaplikasikan teori Mead secara baik dalam bentuk jejaring dunia maya sedangkan Jokowi mampu melanjutkan dan menyelaminya secara mendalam dengan mengkolaborasikannya secara politik. Di era reformasi, rakyat semakin baik menelaah setiap gerak langkah para pemimpinnya. Pemimpin politik tentunya harus mendecoding setiap pesan dari rakyatnya. Inilah yang di lakukan oleh Jokowi, dengan hati-hati setiap makna pesan arus bawah menjadi pengkajian mendalam. Hal itu dapat kita lihat bagaimana antusiasme pemimpin Negara itu mengakomodir rakyatnya. Struktur kabinet adalah contoh konkrit dalam periode presiden ke tujuh ini.

Sungguh, kekuatan rakyat adalah penghargaan bagi pemimpin seperti jokowi, rakyat di pahami sebagai elemen penting dalam tumbuhnya demokrasi di Indonesia, sehingga dalam aktifitas kenegaraan pun sekat rakyat dan pemimpinnya terbuka lebar. Kulit bersentuhan, muka bertatap dan keadaan emosional mengikat. Konsep kepemimpinan interaktif dan observatif seyogyanya menjadi cerminan semua pemimpin di Negara ini, sehingga politik tidak lagi menjadi cerita muslihat kelam dalam lingkup demokrasi Indonesia. 

Kampanye politik Jokowi terjadi dengan sukarela karena mengedepankan pola interaktif dan observatif secara empati. Rakyat di hargai sehingga rakyat pun menghargai, itulah demokrasi yang sesungguhnya. Proses ini menjadi pelajaran pada momentum-momentum berikutnya bagi para pemimpin. Besok atau lusa jika pola komunikasi pemimpin dilakukan ala Jokowi dan Mark Zuckerberg, maka kampanye politik tidak lagi pada tataran kedip mata di tingkat suprastruktur politik, kita cukup menjaga setiap pertemanan yang telah di konfirmasi.( Karmin Lasuliha)
 

Tidak ada komentar: