Sabtu, 26 Desember 2015

“Membumikan Islam sebagai Rahmatan lil Alamin” Ikhtiar Bersama Menuju Dakwah yang Sejuk, Damai dan Humanis di Tanah Papua


Oleh: Karmin Lasuliha
( Direktur Lembaga Kebijakan Publik Papua)

Dakwah adalah syiar agama yang di jalankan oleh setiap individu, kelompok organisasi yang memiliki keyakinan, dakwah memiliki konsekwensi pengorbanan baik harta bahkan nyawa taruhannya. Esensi dari dakwah itu sendiri adalah nilai-nilai pendidikan, etika dan moral. Sejarah lahir serta perkembangan dakwah sudah sejak zaman manusia pertama dilahirkan. Dakwah yang berdasar pada pemahaman nilai pendidikan, etika dan moral akan mencegah cara-cara anarkhisme. Tidak akan ada masjid atau gereja yang terbakar dengan sengaja seperti di aceh, palu dan papua. tidak akan ada peraturan-peraturan daerah yang memarjinalkan agama satu dan agama lainnya. Tidak akan muncul permasalahan yang berujung konflik agama. Atau tidak akan ada pembunuhan karena dikumandangkannya panggilan azan serta pelarangan pembangunan rumah ibadah.

Belajar dari sejarah terdahulu, dakwah seharusnya dijalankan dengan langkah-langkah yang teratur dan bersinergi antar suatu kelompok organisasi atau individu dengan lainnya. Setiap kelompok atau individu yang akan menjalankan misi dakwah, harus bersedia membuka diri, seraya membangun komunikasi dan koordinasi dengan pihak lain, yang juga menjalankan misi yang sama. Hanya dengan sikap saling terbuka, berkomunikasi secara setara, peran dapat dibagi sesuai dengan porsi dan kemampuan masing-masing. Dengan berbagi peran, diharapkan gerak setiap organisasi atau individu adalah komplementer (pelengkap) dari apa yang telah dikerjakan oleh pihak lain.
Selain itu, bagaimana cara yang tepat dalam berdakwah juga memiliki peran yang penting dalam keberhasilan dakwah;

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qur’an : An-Nahl : 125 )

Dalam perspektif ini, firman Allah SWT telah jelas menggariskan dakwah harus dilakukan dengan cara penuh hikmah, dan baik. Meminjam istilah Mario Teguh, menyampaikan kebenaran dengan cara yang tidak  santun, hanya akan membuat orang membenci kebenaran. Hanya dengan cara yang tepat, dakwah lebih mudah diterima sebagai ajakan kebaikan.

Demi Masa,
Sesungguhnya Manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Qur’an : Al ‘Ashr ; 1 – 3)

Firman Allah SWT ini jelas menunjukkan perintah kepada setiap manusia untuk beriman, beramal saleh serta nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Jika Firman Allah SWT ini dijadikan landasan maka wajib bagi setiap muslim (beriman dan mengerjakan amal saleh) untuk mengemban dakwah. Atas dasar perintah Allah SWT ini pula, saat ini kita menyaksikan gairah dakwah yang sangat besar dari berbagai organisasi, kelompok maupun individu. Ini tentu suatu fenomena yang melegakan ditengah arus perubahan dunia yang kian hari makin menyeret umat Islam keluar dari ajaran mulia Allah SWT melalui Rasul-Nya, Muhammad SAW.

Persoalannya kemudian adalah, dakwah yang dijalankan oleh berbagai elemen organisasi dan invidu ini terkadang hadir sebagai aksi sporadis yang tidak tertata sebagai dakwah yang sistematis dan solid. Masing-masing pihak menjalankan dakwahnya, menurut pandangan masing-masing. Perbedaan cara dakwah itulah di nusantara dari sabang sampai merauke memiliki beragam persoalan, dakwah bisa jadi sebagai dasar konflik kemanusian sampai akidah. Penghargaan terhadap kemanusiaan akan membangun hubungan baik antara sesama untuk berdakwah pada porsinya.
Eksklusifme kerap menjadi ciri dari dakwah setiap organisasi. Padahal jelas perintah Allah SWT dalam Al Qur’an, agar ummat muslim dapat menata perjuangan sehingga menjadi barisan yang teratur, bagaikan bangunan yang kokoh.

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (Qur’an : Ash Shaff : 4)
Selain itu, apa muatan dasar dakwah telah digariskan Allah SWT :
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (Qur’an : Ali Imran : 110)
Ayat ini bisa ditafsirkan, bahwa ummat Islam adalah ummat terbaik yang selalu menyuruh dan bertindak untuk kebaikan dan mencegah kemungkaran. Atau, bisa juga ditafsirkan ummat Islam bisa menjadi ummat terbaik jika melaksanakan tanggung jawab amar ma’ruf dan nahyi munkar.
Tanah Papua, secara budaya memiliki lebih dari 300-an suku, dengan adat istiadat dan bahasa yang berbeda. Selain itu, keragaman dalam keyakinan agama juga sangat heterogen. Masyarakat adat Papua setidaknya menganut 3 (tiga) agama besar; Protestan (yang terbagi kedalam beberapa denominasi gereja), Katolik dan Islam. Khusus untuk ummat Islam, dari kalangan masyarakat adat Papua, pengaruh Nahdlatul Ulama (NU) adalah yang terbesar dan sisanya Muhammadiyah. Keragaman ini semakin besar karena arus migrasi dari berbagai wilayah di Indonesia. Masuknya suku-suku nusantara, berarti pula masuknya beragam adat dan budaya.

Konsekwensi lain, walaupun migran sebagian besar adalah penganut Kristen Protestan, Katolik dan Islam, namun karena dilatari oleh adat istiadat yang beragam, masing-masing membawa semangat spiritualitas yang berbeda-beda, tergantung daerah asalnya. Penetrasi lembaga masing-masing agama dari luar tanah Papua, juga semakin turut andil dalam heterogenitas masyarakat.
Heteroginitas dalam suku dan agama, tentu harus diterima sebagai realitas alamiah. Mobilitas migrasi juga harus dipahami sebagai keniscayaan alamiah dari dinamika sosial dan ekonomi.  Polarisasi masyarakat beragama kedalam berbagai organisasi  aliran,  yang juga memiliki landasan theologis dan metodelogi yang berbeda, semestinya juga dipandang nyata dalam dinamika semangat “pewartaan” setiap agama ataupun aliran. Ini penting disadari sebab keragaman selalu menyimpan potensi gesekan bahkan benturan antar kelompok, jika tidak disikapi dengan sikap saling terbuka dan toleransi yang tulus antar keyakinan agama, suku, dan kelompok.

Khusus bagi kaum muslimin, beberapa fakta menunjukkan banyak kegiatan “dakwah” yang dijalankan oleh berbagai kelembagaan Islam, maupun individu di Papua terkesan berjalan sporadis, eksklusif, dan tidak banyak terhindarkan menimbulkan gesekan bahkan benturan dengan tatanan adat serta agama lainnya. Ini bisa saja disebabkan oleh pemahaman akan hakekat dakwah yang keliru, ataupun metode/cara yang digunakan tidak tepat akibat ketidakpahaman akan kondisi sosio kultural masyarakat di tanah Papua. Kondisi akan semakin diperparah dengan penetrasi serampangan dari kelembagaan dakwah dari luar tanah Papua, yang menjalankan misi dakwah tanpa berusaha mempelajari terlebih dahulu, karakteristik sosio kultural serta dinamika sosial ekonomi dan politik tanah Papua.
Kita harus mengakui bahwa dakwah Islam yang dijalankan di Papua masih dipandang sebagai sesuatu yang asing dan cenderung akan menjadikan orang Papua sebagai “manusia baru” yang tercerabut dari akar-akar budaya. Realitas Papua yang heterogen dalam adat istiadat, agama maupun semangat spiritualitas, haruslah menjadi bahan pertimbangan secara sungguh-sungguh. Pemahaman yang komprehensif terhadap kondisi sosio kultural masyarakat di Papua, akan mempermudah ummat Islam baik secara personal maupun kelembagaan untuk mendesian dakwah yang tepat, dakwah yang membumikan Islam sebagai Rahmatan lil Alamin di tanah Papua. Dakwah dalam fungsi kerisalahan dan fungsi kerahmatan harus dipadu padankan dalam suatu gerak yang senafas, walaupun dalam tataran implementasinya dijalankan oleh masing-masing kelembagaan dan individu sesuai potensi yang dimiliki.
Misalnya ada beberapa organisasi-organisasi keagamaan yang mengundang para penceramah atau da’i dari luar Papua, karena ketidakpahaman tentang budaya serta karakteristik masyarakat adat sehingga apa yang di sampaikan menurut pemahamannya itu baik serta cocok dengan ajaran islam yang dijalankan di daerahnya tetapi menurut pemahaman kita yang mengetahui karakteristik serta budaya yang ada di Papua menganggap bahwa apa yang di sampaikan itu bernada provokatif yang dapat menyinggung saudara-saudara kita diluar agama islam.

Juga ketika datangnya bulan suci Ramadhan, di Papua kondisi ini tidak serta merta disambut dan dimeriahkan dengan berbagai macam cara se-enak mata ataupun se-mau tindakan pada ruang public, karena hari besar keagamaan selain islam juga tidak di rayakan berlebihan di ruang public. etika keberagaman pun tentunya menjadi dasar pijak dakwah bagi ummat islam di Papua, saling menghargai tentunya terpupuk dari dakwah islam itu sendiri.

Seperti pawai obor berkeliling kota, tahrim pengantar adzan atau tadarusan pasca ibadah shalat taraweh di masjid dengan pengeras suara seperti kebiasaan-kebiasaan kita di luar tanah Papua yang secara berjama’ah hidup berdampingan dalam satu agama dapat juga memicu gesekan, kondisi minoritas dalam penghargaan kepada saudara-saudara selain islam di Papua tentunya dapat terjaga dengan hubungan yang baik, contohnya bulan ramadhan akan menjadi bulan suci penuh berkah bagi ummat islam tetapi akan menjadi bulan kesengsaraan dengan malam-malam melelahkan penuh keributan bagi mereka selain islam yang tinggal dan berada di sekitar masjid atau kompleks-kompleks ummat islam yang riuh penuh keributan.

Apakah ada yang salah dengan cara berdakwah ummat islam di Tanah Papua? yang dapat menjawabnya adalah kita bersama, kelompok organisasi islam untuk berembuk cara, menyatukan pemahaman dalam metode yang sama bagaimana berdakwah di tanah Papua untuk satu konsep dakwah dengan menghargai keberagaman penuh solidaritas bagi agama lain.
Tanah Papua adalah miniature Indonesia, banyaknya suku bangsa dan agama nusantara berdomisili di Papua yang kian hari semakin berimbang jumlahnya, sehingga aturan atau konsep menjalankan syariat islam menjadi kewajiban untuk dilahirkan oleh pemuka-pemuka organisasi islam. Yang pertama, hal tersebut dapat menjadi rujukan bagi daerah lain di indonesia dengan kondisi yang sama serta yang kedua untuk meminimalisir ketersinggungan umat selain islam ketika dakwah islam dijalankan bagi sesama umat islam.

Sampai pada detik ini, blue print atau konsep dakwah islam di Papua belum ada kesepakatan, setiap individu terus berdakwah dengan caranya masing-masing, kelompok organisasi yang mewakili aspirasi masyarakat seakan bungkam. Dampak dari itu, dakwah  islam secara anarkhi dan provokatif mulai bertebaran di media social yang di bagikan individu-individu tidak bertanggung jawab, selanjutnya apa peran islam sebagai rahmatallilalamiin, siapa imam yang menjadi poros dakwah di daerah yang benar-benar heterogen ini. Wallahu a’lam bissawab.

Tidak ada komentar: