Cerita itu berawal dari garis langit, ketika embun pagi
terhampar di atas semak belukar, bukit bukit kecil di kaki garis langit itu
ditumbuhi tanaman-tanaman hijau, mereka yang menanamnya. Bila datang masa
panen, para petani berbondong-bondong memikul bakul untuk siap memanen. Daun serta buah di petik lalu di jual di
pasar, pasar hamadi tempat yang selama ini menjadi tukaran rupiah para petani
garis langit.
Di garis langit para petani mengolah tanah garapan menjadi
dedaunan hijau, dahulu tidak ada tempat mengais rejeki selain di tempat itu. Jika malam tiba, warga tak berdaya
karena listrik belum masuk desa. Lampu pelita adalah penerang utama selain
lilin. Sungguh naïf kehidupan warga yang bermukim di garis langit. Anak-anak di
kampung itu tetap
bersekolah seperti anak lainnya yang tinggal di luar garis
langit dalam realitas keterisolasiannya, begitulah cerita penduduk di garis langit pada hamper tiga
decade lalu.
Saat ini kondisi garis langit telah berubah, semuanya
berkembang kecuali lahan cocok tanam mereka telah tiada, habis di ambil para
cukong konglomerat pemilik tanah, pabrik dan segalanya. Sepanjang cerita
masyarakat yang bermukim disana, garis langit bukan hanya untk mereka tetapi
milik semua masyarakat yang ada di sekitar kaki garis langit. Di penghujung
tahun ini, dampak rusaknya kelestarian garis langit perangi sendi, mati bagai
merpati menepi di tangkai jati rapuh kering menangis.
Lahan kebun disulap menjadi jalan gundul untuk dilewati truk
pengangkut babu. Anak-anak kecil semakin besar dan kekar, mereka lebih memilih
meninggalkan pemukiman, pergi menyambut keramaian di pelosok gang-gang sempit
ibukota. “tanah garis langit tak dapat ditumbuhi tanaman-tanaman segar seperti dahulu”. Tak ada janji dari
garis langit karena wilayah itu telah tandus di rampas tengkulak rakus.
Kendati demikian, para kaum tua tetap bertahan untuk
mengenang kesuburan garis langit, sedang yang muda sakit tergerogoti. Kaki garis langit mulai terendam
diantara asin dan tawar. Tawar berasal dari garis langit sebagai dampak
kerusakan hutan dan penggundulan bukit, sedang asin adalah kemarahan para
penghuni lautan yang prihatin dengan kondisi garis langit. Setiap tetes bencana
air memberi cerita bahwa garis langit penting di lestarikan.
Tangisan itu membawa gerusan batu serta pasir bercampur
gelondongan pohon mati karena penebangan liar para cukong dan petani laknat tak
berperasaan. Semua pemukiman kota
tenggelam dalam kelam malam. Sekali lagi kita menyadari pentingnya garis langit
harus di regulasi untuk menahan arus gelombang mata air kujabu payau dan kabur. Garis langit marah memerah tanpa
belas kasihan, tak ada kata ramah rasa yang
dapat di sandingkan selain risau tenggelam sesal.
Pasar tradisional tenggelam terganti pasar modern, tidak
becek dengan harga sangat terjangkau, pasar ini membunuh pedagang kecil di
pasar tradisional. Banjir sampai saat ini, penguasa diam tak bergeming
menikmati keringnya penghasilan para pedagang di bawah garis langit. Cukup lahhhh kondisi ini….
Petani garis langit di Jayapura Papua
Garis langit, 21 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar