Jumat, 21 November 2014

Garis Langit



Cerita itu berawal dari garis langit, ketika embun pagi terhampar di atas semak belukar, bukit bukit kecil di kaki garis langit itu ditumbuhi tanaman-tanaman hijau, mereka yang menanamnya. Bila datang masa panen, para petani berbondong-bondong memikul bakul untuk siap memanen.  Daun serta buah di petik lalu di jual di pasar, pasar hamadi tempat yang selama ini menjadi tukaran rupiah para petani garis langit.

Di garis langit para petani mengolah tanah garapan menjadi dedaunan hijau, dahulu tidak ada tempat mengais rejeki  selain di tempat  itu. Jika malam tiba, warga tak berdaya karena listrik belum masuk desa. Lampu pelita adalah penerang utama selain lilin. Sungguh naïf kehidupan warga yang bermukim di garis langit. Anak-anak di kampung itu tetap
bersekolah seperti anak lainnya yang tinggal di luar garis langit dalam realitas keterisolasiannya, begitulah cerita  penduduk di garis langit pada hamper tiga decade lalu.

Saat ini kondisi garis langit telah berubah, semuanya berkembang kecuali lahan cocok tanam mereka telah tiada, habis di ambil para cukong konglomerat pemilik tanah, pabrik dan segalanya. Sepanjang cerita masyarakat yang bermukim disana, garis langit bukan hanya untk mereka tetapi milik semua masyarakat yang ada di sekitar kaki garis langit. Di penghujung tahun ini, dampak rusaknya kelestarian garis langit perangi sendi, mati bagai merpati menepi di tangkai jati rapuh kering menangis.

Lahan kebun disulap menjadi jalan gundul untuk dilewati truk pengangkut babu. Anak-anak kecil semakin besar dan kekar, mereka lebih memilih meninggalkan pemukiman, pergi menyambut keramaian di pelosok gang-gang sempit ibukota. “tanah garis langit tak dapat ditumbuhi tanaman-tanaman  segar seperti dahulu”. Tak ada janji dari garis langit karena wilayah itu telah tandus di rampas tengkulak rakus.

Kendati demikian, para kaum tua tetap bertahan untuk mengenang kesuburan garis langit, sedang yang muda sakit  tergerogoti. Kaki garis langit mulai terendam diantara asin dan tawar. Tawar berasal dari garis langit sebagai dampak kerusakan hutan dan penggundulan bukit, sedang asin adalah kemarahan para penghuni lautan yang prihatin dengan kondisi garis langit. Setiap tetes bencana air memberi cerita bahwa garis langit penting di lestarikan.

Tangisan itu membawa gerusan batu serta pasir bercampur gelondongan pohon mati karena penebangan liar para cukong dan petani laknat tak berperasaan.  Semua pemukiman kota tenggelam dalam kelam malam. Sekali lagi kita menyadari pentingnya garis langit harus di regulasi untuk menahan arus gelombang mata air kujabu payau  dan kabur. Garis langit marah memerah tanpa belas kasihan, tak ada kata ramah rasa  yang dapat di sandingkan selain risau tenggelam sesal.

Pasar tradisional tenggelam terganti pasar modern, tidak becek dengan harga sangat terjangkau, pasar ini membunuh pedagang kecil di pasar tradisional. Banjir sampai saat ini, penguasa diam tak bergeming menikmati keringnya penghasilan para pedagang di bawah garis langit.  Cukup lahhhh kondisi ini….

Petani garis langit di Jayapura Papua
Garis langit, 21 November 2014

Tidak ada komentar: