Minggu, 02 Juni 2013

PEMILIHAN UMUM DAN DISIPLIN BERDEMOKRASI

Oleh: 
Karmin Lasuliha

Momentum demokrasi sebentar lagi dilaksanakan, penyelenggara demokrasi dari pusat sampai daerah mulai dibentuk. Tatanan penjaringan setiap bakal calon penyelenggara pemilihan umum dilakukan dengan transparan berdasarkan undang-undang pemilihan umum, tentunya dgn proses yang wajar tanpa complain dan kontra pendapat yang berujung di meja persidangan.

Dalam penyelenggara pemilihan umum tidak dapat dipungkiri ada hal yang kemudian belum sejalan dengan hukum serta etika politik, maka dari itu sebagaimana amanah demokrasi bahwa penyelenggara pemilihan seharusnya bermuara pada cara serta mekanisme yang bersih jujur dan transparan. Kita bersama meyakini, seyogyanya tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu jauh dari kerancuan prosedural walaupun sebelumnya asumsi miring tentang proses pemilihan penyelenggaraan pemilu merebak bagai bangkai yang diarak ditengah keramaian.
Kedisiplinan berpolitik seharusnya menjadi contoh bagi semua pelaku demokrasi betapa perkembangan pendidikan politik berjalan dinamis walau segelintir orang menganggap bangsa ini sedang mengalami frustasi politik. Karakter politik diera ini sebenarnya telah dikaji jauh sebelumnya, yakni sebelum penyelenggaraan demokrasi terlaksana dibeberapa negara, Hasbi Umar dalam tulisan ilmiahnya berjudul Paradigma Baru Demokrasi Indonesia mengkaji beberapa pikiran Aristoteles ( 84-322 SM ). Dalam kajiannya Aristoteles telah membagi bentuk penyelenggaraan Negara kedalam bentuk ideal dan bentuk merosot. Bentuk ideal meliputi monarki, aristokrasi dan republik konstitusionil sedangkan bentuk merosotnya meliputi tyranny, oligarki dan demokrasi.

Demokrasi menjadi cara yang disepadankan dengan oligarki serta tyranny yang tentunya memiliki konotasi untuk perbandingan, dikesempatan era reformasi saat ini muncul sepenggal pertanyaan terkait dengan lajunya penyelenggaraan demokrasi khususnya di Indonesia, pengkonotasian dengan melekatkan karakter masa kini dengan era sebelum masehi semakin menonjol, hal itu di maknai bahwa demokrasi mengandung semacam paradigma yang jauh dari toleransi dan kedisiplinan. Pada hal demokrasi sesungguhnya menjadi simbol bagi Negara-negara maju serta berkembang untuk implementasi etika dan moral kebangsaan dalam sinergitas kepemimpinan.

Dalam tatanan bernegara sewajarnya demokrasi akan mengakomodir kedisiplinan penyelenggaraan hajatan-hajatan politik, begitupula pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Padanan kedisiplinan serta penyelenggaraan nilai-nilai politik merupakan kekuatan dalam kepatuhan berdemokrasi. Kita pahami bersama bahwa rumusan etika serta kedisiplinan merupakan wawasan kemajuan berbangsa dan bernegara, simbol inilah yang menjadi tuntutan penyelenggaraan sebuah hajatan politik di Indonesia maupun Negara-negara penganut paham demokrasi.

Demokrasi Berkarakter
Demokrasi sesuai dengan kaidah pelaksanaannya memerlukan perangkat-perangkat yang mampu memainkan peran serta kewajiban dengan keberpihakan yang murni serta berkarakter untuk kepentingan masyarakat. Ada banyak gagasan dengan karakter pembangunan serta berwawasan kenegaraan. Hal tersebut kemudian bermuara pada peraturan dengan tinjauan perluasan makna, bahwa kedisiplinan demokrasi termasuk dalam perluasan tugas pemerintahan yang pasif membangun kedisiplinan sosial, ekonomi, budaya dan politik. 

Realitas penerapan kedisiplinan demokrasi di Negara kita diakui masih lemah dan memerlukan kajian-kajian mendalam untk memperoleh kesepahaman, walaupun hal tersebut telah di bahas jauh sebelumnya pada saat konferensi Internasional Commision of Jurists di Bangkok pada tahun 1965. Dalam kesepakatan komisi tersebut memunculkan enam ciri pemerintahan demokrasi, salah satu dari kesepakatannya tertera pada pada poin tiga yakni penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas. Dari pencirian yang disepakati menjadi jelas bahwa penyelenggaraan demokrasi sepatutnya merumuskan tauladan bagi setiap penyelenggaranya, keadilan dalam menjalankan amanah UU serta mandiri dalam menciptakan kenetralan Negara dalam realitas perbuatan. 

Karakter demokrasi saat ini memungkinkan semua elemen pemerintah dan masyarakat bersatu sebagai simbol kebersamaan penyelenggaraan pemerintahan yang sinergi dengan kepentingan masyarakat, ini bukan lah tatanan demokrasi bentukkan soekarno sebagaimana yang di kemukakan pada pidato kenegaraan tanggal 17 agustus 1945 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” soekarno menyampaikannya dengan lantang bahwa setiap orang wajib berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat dan Negara serta setiap orang mendapat penghidupan yang layak dalam masyarakat, bangsa dan Negara. 

Belajar dari para pendahulu bahwa di era reformasi saat ini karakter kita sebagai masyarakat yang memiliki potensi mengangkat kejujuran dan menginginkan penyelenggaraan demokrasi yang bersih harus berpegang teguh pada nilai-nilai dan tata pemerintahan Negara dan masyarakat. Demokrasi yang menjalankan Hukum perundang-undangan ( Negara ) dan adat istiadat ( Masyarakat Adat ) setidaknya menjadi karakter etik demokrasi kekeluargaan (Soekarno) dan untuk menjelaskan definisi rill penyelenggaraan kedisiplinan penyelenggaraan demokrasi kita. Ahmad Syafii Maarif mencatat bahwa” Demokrasi kekeluargaan yang dimaksudkan Soekarno adalah demokrasi yang mendasarkan system Pemerintahannya kepada masyarakat dan mufakat dengan pemimpin serta kekuasaan di tangan tetua yang tidak mendiktatori, tetapi memimpin, mengayomi. (Mahfud MD, 56 ).

Komunikasi Demokrasi
Pada tataran yang sederhana demokrasi dapat memberi pancaran aura kemanusiaan, kenapa demikian, hal itu menjadi gambaran bahwa dari sudut human interest, kajian spesifik menjalankan komunikasi persuasif dapat membangun dan menghasilkan kebijakan serta putusan yang berkeadilan. Banyak momentum demokrasi saat ini yang patut kita contohi, bagaimana Pemilu DKI Jakarta dengan kemenangan seorang diplomator pro rakyat, keberpihakan dalam realitas telah dibuktikan dan bisa kita sebut bahwa inilah karakter demokrasi yang seharusnya diperlihatkan oleh semua penyelenggra demokrasi bangsa ini. Dalam pemilu, pengalaman demokrasi di DKI Jakarta kita sebut sebagai komunikasi politik dengan mengedepankan komunikasi intra, antar pribadi. Dari sisi pemberdayaan masyarakat kita dapat mendefinisikannya sebagai komunikasi pembangunan, sedang dari penyelenggaraan pemilihan umum ( Komisi Pemilihan Umum ) kita dapat memilahnya dalam komunikasi organisasi. Sebuah komunikasi yang sering dikenal dengan pola diplomasi harus melalui tahapan-tahapan beretika dengan kajian interpersonal, mengalahkan kedikatatoran dalam diri sendiri adalah cerminan karakter pencapaian kebijakan yang adil, komunikasi bukan sekali tetapi berulang-ulang untuk dapat mengungkapkan tawaran solusi pada satu masalah (Domu D. Ambarita, 61 )

Tidak ada komentar: