Karya mereka apik, halus dan mulus, cacat
fisik tak mengurangi semangat tetapi mereka masih membutuhkan uluran Modal.
Hari
sudah menjelang sore pada Selasa 3 Juli 2012, merah saga sudah muncul di ufuk
barat pertanda hari akan menjelang malam, Daerah polimak kelurahan Ardipura
tampak tiga orang cacat dengan penuh semangat menenteng barang dagangannya
menuju tempat jualan, cukup untuk empat jam duduk di waktu malam menjaga pembeli.
Dagangan dijual bukan ditempat pada umumnya seperti pasar melainkan di emperan
toko atau tepatnya di pintu masuk mall dan beberapa Toko besar di Kota Jayapura.
Mereka adalah para tunanetra yang
membuat kerajinan tangan perlengkapan rumah tangga seperti keset, Sula dan Sapu
lidi.
Rumah tinggal
sekaligus tempat membuat kerajinan tangan terlihat tidak tertata rapi,
disudut-sudut ruangan terlihat beberapa tumpuk sapu lidi dan sulak. Rumah itu
bukan milik sendiri melainkan milik seorang yang biasa mereka panggil Opa . tiga buah rumah berukuran cukup
dan bertingkat dengan beberapa ruang kamar dengan kondisi yang serupa itu
dihuni sejumlah penyandang cacat yang sengaja di kumpulkan oleh lelaki
pengusaha itu, dia dianggap sebagai orang paling berjasa dalam hidup mereka
yang cacat fisik.
Dari hasil
bincang - bincang, Pak Human yang biasa dipanggil Opa adalah pemilik yayasan
Humania, dia pengusaha pemilik toko kelontongan di hamadi. Yayasan itu tidak
terlihat seperti sebuah yayasan pada umumnya karena setiap orang didalamnya
mengurusi kehidupan diri sendiri mulai dari makan, minum dan kebutuhan lainnya.
“Kita disini lumayan banyak orang, semua jumlahnya ada 20 kepala keluarga
tetapi 3 keluarga sudah kembali ke biak, semuanya urus keperluan rumah tangga
masing-masing, yaa.. kalau tidak berusaha kita tidak akan dapat uang, kita
bersyukur pada Tuhan, Opa masih melihat kita, dia kasi rumah tinggal tidak ada
sewa rumah, kita hanya bayar listrik setiap bulan” kata mama Yuliana Sapioper
yang akunya cacat buta karena terkena penyakit cacar sewaktu berusia muda.
Diruang
berukuran kecil itu tampak bersih tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang
banyak tersedia tumpukan bahan baku dan banyak karya yang dihasilkan para
tunanetra itu tetapi saat ini mereka hanya memproduksi semampu mereka, alasan
mereka sederhana karena tidak tersedianya bahan baku kerajinan. Bahan baku
pembuatan keset berasal dari sabut kelapa tua yang biasanya di dapatkan dari
petani kelapa di koya Distrik Muara Tami, harga beli per truk seharga Rp.600
ribu sedangkan untuk pembuatan sula atau pembersih debu bahan baku berasal dari
tali raffia yang harus di beli dari toko agen penjual tali raffia.
Ulet dan
lincah dengan kondisi mata yang buta mereka terus merajut bahan baku menjadi
karya-karya keperluan rumah tangga yang menghasilkan nilai ekonomi, pikiran
mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa memikirkan dunia usaha
apalagi marketing penjualan para penyandang cacat ini terus berkarya
menghasilkan karya demi karya, beberapa tahun belakangan ketika bahan baku tak
lagi tersedia dan tanpa ada bantuan dari siapapun mereka harus picah otak untuk
menghasilkan barang dagangan agar bisa memenuhi kebutuhan keluarga. “ dulunya
kami sama-sama bikin keset, sula, dan sapu lidi, itu karena Opa yang biasa
belikan bahan baku, sekarang ini kita smua tau Opa lagi sibuk hingga belum
punya waktu membelikan bahan baku, padahal sebenarnya usaha ini cukup
menguntungkan, bayangkan saja kalau sabut kelapa satu trek itu bisa jadi 50
sampai 60 keset, sedangkan satu orang bisa
buat 10 sampai 12 keset jadi, 1 keset harga jualnya macam-macam tergantung
besar kecil dan kualitasnya. Keset kecil kita jual 50 ribu sedangkan yang
ukurannya sebesar daun pintu itu dijual 80 – 100 ribu, ada juga keset yang
berbulu halus itu dijual seharga 150 ribu. Jelas David Womsiwor.
Belakangan ini
mama paulina dan teman-teman tunanetranya tetap berjualan keset, sulak dan sapu
lidi karena dagangan itu satu-satunya pekerjaan yang digeluti, keterbatasan
fisik tidak membuat mereka patah arang untuk mencari nafkah. Barang dagangan
tidak lagi dibuat sendiri kecuali sulak karena bahan bakunya dapat di beli di
toko. Mama paulina harus berhitung matematis mengenai keuntungan yang didapatnya
karena dagangan yang terjual harus disisihkan untuk keperluan makan minum dan
modal pembelian barang.“ bahan baku tidak lagi ada, jadi keset dan sapu lidi
kita beli di pasar untuk dijual kembali, barang kalau laku kita bagi dua untuk
keperluan dan modal beli keset lagi.” Tak ada peluh kesah dengan kondisi
tersebut para ojek langganan telah menunggu di depan halaman kecil kediamannya
untuk mengantarkan mereka ke tempat-tempat berjualan begitu pula saat pulang,
ongkos 40 ribu telah di siapkan untuk biaya bolak – balik. “semuanya harus pake
uang, uang tidak lihat ko buta atau tidak, kami senang karena ojek disini siap
antar jemput.” Kata mereka tersenyum.
Sewaktu
berjualan tidak ada istilah menawarkan barang walau terkadang banyak pembeli
yang menawar barang dagangan, ada pula pembeli yang hanya prihatin dengan
kondisi cacat mereka sehingga tak tanggung-tanggung harga ratusan ribu diberikan
pembeli untuk nilai seikat sapu lidi atau selembar keset kaki “ banyak penjual
dan pembeli yang baik, ini sudah campur tangan Tuhan karena harga barang yang
kita beli biasa dikasi turun harganya, sama juga kalau lagi menjual, pembeli
kadang tidak minta uang kembali kalau beli keset pake uang besar…” ungkap
melianus kapissa yang biasa nongkrong berjualan di galael jayapura.
Ditengah usaha
mereka, mama Paulina, bapak David, Melianus dan para tunanetra lainnya masih
merindukan kerajinan karya sendiri, bahan baku menjadi kendala ditengah
keterbatasan usaha mereka, bahan baku pula yang memberikan penghasilan lebih, karena
dengan ketersediaan bahan baku semua penyandang cacat dapat bekerja” iya, kalau
ada bahan baku semuanya kerja, kadang ada pesanan dari sekolah untuk bikin
keset dan sapu, baru mereka ambil banyak, sa masih ingat waktu itu gereja
nomensen kasi bantuan tali raffia, kita semua bikin sulak, hasilnya lumayan
semuanya dapat uang” Harapan mereka para penyandang cacat saat ini belum sirna,
mereka masih menunggu sedikit bantuan bahan baku dari para penderma untuk di
jadikan karya – karya yang bernilai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar