Sabtu, 08 Juni 2013

Keset Kusut Karya Si Buta


Karya mereka apik, halus dan mulus, cacat fisik tak mengurangi semangat tetapi mereka masih membutuhkan uluran Modal.

Hari sudah menjelang sore pada Selasa 3 Juli 2012, merah saga sudah muncul di ufuk barat pertanda hari akan menjelang malam, Daerah polimak kelurahan Ardipura tampak tiga orang cacat dengan penuh semangat menenteng barang dagangannya menuju tempat jualan, cukup untuk empat jam duduk di waktu malam menjaga pembeli. Dagangan dijual bukan ditempat pada umumnya seperti pasar melainkan di emperan toko atau tepatnya di pintu masuk mall dan beberapa Toko besar di Kota Jayapura. Mereka adalah para  tunanetra yang membuat kerajinan tangan perlengkapan rumah tangga seperti keset, Sula dan Sapu lidi.

Rumah tinggal sekaligus tempat membuat kerajinan tangan terlihat tidak tertata rapi, disudut-sudut ruangan terlihat beberapa tumpuk sapu lidi dan sulak. Rumah itu bukan milik sendiri melainkan milik seorang yang biasa mereka panggil Opa . tiga buah rumah berukuran cukup dan bertingkat dengan beberapa ruang kamar dengan kondisi yang serupa itu dihuni sejumlah penyandang cacat yang sengaja di kumpulkan oleh lelaki pengusaha itu, dia dianggap sebagai orang paling berjasa dalam hidup mereka yang cacat fisik.

Dari hasil bincang - bincang, Pak Human yang biasa dipanggil Opa adalah pemilik yayasan Humania, dia pengusaha pemilik toko kelontongan di hamadi. Yayasan itu tidak terlihat seperti sebuah yayasan pada umumnya karena setiap orang didalamnya mengurusi kehidupan diri sendiri mulai dari makan, minum dan kebutuhan lainnya. “Kita disini lumayan banyak orang, semua jumlahnya ada 20 kepala keluarga tetapi 3 keluarga sudah kembali ke biak, semuanya urus keperluan rumah tangga masing-masing, yaa.. kalau tidak berusaha kita tidak akan dapat uang, kita bersyukur pada Tuhan, Opa masih melihat kita, dia kasi rumah tinggal tidak ada sewa rumah, kita hanya bayar listrik setiap bulan” kata mama Yuliana Sapioper yang akunya cacat buta karena terkena penyakit cacar sewaktu berusia muda.

Diruang berukuran kecil itu tampak bersih tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang banyak tersedia tumpukan bahan baku dan banyak karya yang dihasilkan para tunanetra itu tetapi saat ini mereka hanya memproduksi semampu mereka, alasan mereka sederhana karena tidak tersedianya bahan baku kerajinan. Bahan baku pembuatan keset berasal dari sabut kelapa tua yang biasanya di dapatkan dari petani kelapa di koya Distrik Muara Tami, harga beli per truk seharga Rp.600 ribu sedangkan untuk pembuatan sula atau pembersih debu bahan baku berasal dari tali raffia yang harus di beli dari toko agen penjual tali raffia.
Ulet dan lincah dengan kondisi mata yang buta mereka terus merajut bahan baku menjadi karya-karya keperluan rumah tangga yang menghasilkan nilai ekonomi, pikiran mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa memikirkan dunia usaha apalagi marketing penjualan para penyandang cacat ini terus berkarya menghasilkan karya demi karya, beberapa tahun belakangan ketika bahan baku tak lagi tersedia dan tanpa ada bantuan dari siapapun mereka harus picah otak untuk menghasilkan barang dagangan agar bisa memenuhi kebutuhan keluarga. “ dulunya kami sama-sama bikin keset, sula, dan sapu lidi, itu karena Opa yang biasa belikan bahan baku, sekarang ini kita smua tau Opa lagi sibuk hingga belum punya waktu membelikan bahan baku, padahal sebenarnya usaha ini cukup menguntungkan, bayangkan saja kalau sabut kelapa satu trek itu bisa jadi 50 sampai 60 keset,  sedangkan satu orang bisa buat 10 sampai 12 keset jadi, 1 keset harga jualnya macam-macam tergantung besar kecil dan kualitasnya. Keset kecil kita jual 50 ribu sedangkan yang ukurannya sebesar daun pintu itu dijual 80 – 100 ribu, ada juga keset yang berbulu halus itu dijual seharga 150 ribu. Jelas David Womsiwor.

Belakangan ini mama paulina dan teman-teman tunanetranya tetap berjualan keset, sulak dan sapu lidi karena dagangan itu satu-satunya pekerjaan yang digeluti, keterbatasan fisik tidak membuat mereka patah arang untuk mencari nafkah. Barang dagangan tidak lagi dibuat sendiri kecuali sulak karena bahan bakunya dapat di beli di toko. Mama paulina harus berhitung matematis mengenai keuntungan yang didapatnya karena dagangan yang terjual harus disisihkan untuk keperluan makan minum dan modal pembelian barang.“ bahan baku tidak lagi ada, jadi keset dan sapu lidi kita beli di pasar untuk dijual kembali, barang kalau laku kita bagi dua untuk keperluan dan modal beli keset lagi.” Tak ada peluh kesah dengan kondisi tersebut para ojek langganan telah menunggu di depan halaman kecil kediamannya untuk mengantarkan mereka ke tempat-tempat berjualan begitu pula saat pulang, ongkos 40 ribu telah di siapkan untuk biaya bolak – balik. “semuanya harus pake uang, uang tidak lihat ko buta atau tidak, kami senang karena ojek disini siap antar jemput.” Kata mereka tersenyum.

Sewaktu berjualan tidak ada istilah menawarkan barang walau terkadang banyak pembeli yang menawar barang dagangan, ada pula pembeli yang hanya prihatin dengan kondisi cacat mereka sehingga tak tanggung-tanggung harga ratusan ribu diberikan pembeli untuk nilai seikat sapu lidi atau selembar keset kaki “ banyak penjual dan pembeli yang baik, ini sudah campur tangan Tuhan karena harga barang yang kita beli biasa dikasi turun harganya, sama juga kalau lagi menjual, pembeli kadang tidak minta uang kembali kalau beli keset pake uang besar…” ungkap melianus kapissa yang biasa nongkrong berjualan di galael jayapura.

Ditengah usaha mereka, mama Paulina, bapak David, Melianus dan para tunanetra lainnya masih merindukan kerajinan karya sendiri, bahan baku menjadi kendala ditengah keterbatasan usaha mereka, bahan baku pula yang memberikan penghasilan lebih, karena dengan ketersediaan bahan baku semua penyandang cacat dapat bekerja” iya, kalau ada bahan baku semuanya kerja, kadang ada pesanan dari sekolah untuk bikin keset dan sapu, baru mereka ambil banyak, sa masih ingat waktu itu gereja nomensen kasi bantuan tali raffia, kita semua bikin sulak, hasilnya lumayan semuanya dapat uang” Harapan mereka para penyandang cacat saat ini belum sirna, mereka masih menunggu sedikit bantuan bahan baku dari para penderma untuk di jadikan karya – karya yang bernilai.

Tidak ada komentar: