Sabtu, 10 November 2012

Belajar Dari Kegagalan; Membangun Papua yang Bermartabat

Ismail
Oleh:Ismail Bepa Ladopurab,SE


Sepatutnya Momentum ini adalah saat dimana kita melakukan evaluasi dan introspeksi diri yang diawali dengan kejujuran. kejujuran untuk membuka lembaran lama yang sudah tersimpan rapih dan mungkin telah kusam, kejujuran untuk mengakui kegagalan, ketidakmampuan dan tidak bertepuk dada terhadap keberhasilan yang diperoleh, maupun kejujuran untuk menetapkan langkah yang harus kita lalui kemudian. 

Setidaknya kita sempat menaruh harapan besar akan sebuah kepemimpinan bangsa dapat membawa rakyat kearah perubahan.
Indonesia yang konon mendeklamasikan dirinya menjadi sebuah negara pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan beberapa kali pergantian kepemimpinan ternyata hanyalah melahirkan ketidakpastian pembangunan juga ketidakpercayaan rakyat kepada para pemimpin negara ini. Hari ini, kita bisa membuka kembali catatan-catatan penting dari perjalanan bangsa ini yang hampir lebih dari separuh tertulis dengan tinta merah, merah karena pengangguran masih ramai bertaburan, merah sebab angka kemiskinan tak jua menurun, pertumbuhan yang tinggi tanpa pemerataan, atau merah karena pelaku sejarah sengaja menuliskan dengan Darah dan Air Mata rakyat dalam skenario dan rekayasa politik tanpa Nurani. 

Begitu parahnya penyakit bangsa ini karena ditengah keprihatinan dan keluh kesah rakyat terhadap problematika bangsa, disaat yang sama penyelenggara negara masih juga mempertontonkan perilaku kotor. Korupsi, kolusi dan nepotisme. 

Menyoroti lebih kedalam gambaran penyelenggaraan pembangunan di seantero Papua, saya kira tak ada bedanya. kita harus mulai jujur mengakui kegagalan pembangunan. baik ekonomi, kesehatan, pendidikan maupun Politik. Selama ini mungkin kita terlalu percaya diri dan bangga dengan angka Statistik diatas kertas, padahal mungkin saja permainan kurva atau grafik diatas kertas hanya sekedar menyenangkan penyelenggara pemerintahan diTanah ini sekaligus bagian dari kesalahan kita sebagai rakyat yang bisu. Negara yang dikelola oleh orang-orang terpelajar ternyata masih harus belajar dari mereka yang tidak terpelajar. Begitulah Robert K Greenleaf mengatakan bahwa Orang bijak tak harus terpelajar, dan kaum terpelajar tak selalu bijak. 

Mengawali semua ini kami harus sengaja untuk menyoroti sistim pendidikan kita yang carut marut dimana kita mahasiswa sebagai bagian dari sistim tersebut. ketika mencermati sekian banyak kegagalan yang ada dari penyelenggaraan negara maka salah satu intrumen penyebanya karena pendidikan kita hanya mampu melahirkan orang-orang akademis dan teoritis namun sangat minim akan nurani kemanusiaan dan jauh dari realitas. itu berarti bahwa ketika ingin membangun bangsa ini untuk lebih ber-Adab maka kita harus memulai dari pendidikan. Mengutip salah satu pakar pendidikan. Dengan berbagai ilusi konsep-konsep "sekolah unggul", "sekolah pemimpin masa depan", birokrat di lembaga-lembaga pengajaran formal merasa mampu melakukan segalanya, asal dibayar. Itu sebabnya sekolah-sekolah yang dikatakan "terbaik" sebenarnya tidak jelas bedanya dengan "termahal". 

Dengan demikian, lembaga-lembaga pengajaran formal itu melembagakan ajaran sesat bahwa 'pendidikan yang baik' adalah 'pendidikan yang mahal'. 'Mahal' sama dengan 'bermutu', bahkan 'baik'. Kalau uang sekolahnya murah, artinya 'buruk' dan 'tak bermutu'. Dan jika mindset ini diberlakukan, maka dapatkah kita katakan bahwa pendidikan di Jerman, yang relatif murah sampai gratis, sangatlah 'buruk' dan 'tidak bermutu. Sindhunata pun menegaskan kepada dunia pendidikan bahwa “Pendidikan bukan demi orang dewasa, tapi mereka, anak-anak yang memang belum dewasa. Pendidikan bukan pertama-tama untuk mendewasakan mereka, melainkan untuk menghormati dan menjadikan mereka sebagai manusia”. 

Dalam tantangan Global saat ini, mau tidak mau setiap individu terkhususnya generasi muda sedapat mungkin mempersiapkan kapasitasnya untuk dapat survive dalam setiap pergumulannya. Beberapa kali telah kita temukan pelajaran yang sungguh berarti dimana kebanyakan anak muda lebih berharap belas kasih kelompok berduit disaat sebagian kecil lainnya berusaha untuk merangkak tahap demi tahap dalam berkompetisi. Kelompok berkelas semakin mapan dan kalangan kecil kian terhimpit dalam kesempitan berpikir. Pentingnya entrepreneurship semakin menemukan relevansinya ketika banyak orang kehilangan pekerjaan akibat dampak krisis saat ini. Haryono Suyono pernah mengatakan dalam satu sambutan bahwa seorang yang berjiwa wirausaha tidak harus bergerak di bidang bisnis. Semangat dan kemampuan berwirausaha tersebut tetap akan bermanfaat di mana pun seseorang berkarya, baik di bidang politik, sosial, dan pemerintahan.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Untuk meningkatkan kualitas diri sebaiknya tidak tergantung kepada siapapun juga, termasuk kepada seorang pemimpin. Diri kita da[at menjadi pemimpin bagi diri sendiri. Mulailah dengan niat dan lanjutkan dengan usaha. Kulaitas seseorang sangat ditentukan oleh kegigihan dan motivasi diri. Itulah sebabnya banyak orang yang kualitas dirinya lebih baik dari gurunya. Tapi sayang kebanyakan orang memeiliki ketergantungan dari orang lain, dan ketika terjadi kegagalan maka orang lain yang disalahkan. Mari kita tingkatkan kualitas diri kita masing-masing, percayalah pasti kita bisa. Salam Damai...

Damai Papua mengatakan...

Setuju setuju